Ridho, sohibku, sedang menikmati syahdunya pohon beringin belakang fakultas yang gemerisik dicakari angin. Rupanya dia telah menungguku untuk menemaninya di perpustakaan, ada tugas dari pers mendadak katanya, kebetulan tentang Jihan, seorang mahasiswi yang berorasi tempo hari yang berani mengubah Pancasila dengan kalimatnya sendiri. Niatnya dia mau menulis itu melalui perspektif perempuan, dan dirinya memintaku untuk mencarikan rekomendasi buku bertema perempuan yang bagus dan dalam. Kalau mau cari tentang perempuan, utamanya dari segi gender, bisa baca buku-bukunya Leo Suryadinata tentang minoritas etnis: bagus dan sangat inklusif sekali, tuturku lalu menunjuk rak buku nomor E-107, dan bodohnya ia langsung mengambil tanpa membaca dahulu blurb di belakangnya.

          Kapan-kapan kita harus bepergian jauh dari kota ini, uang pemilu raya kemarin sisa banyak, juga bulan depan ada pemilu raya lagi di kampus sebelah, jika menang lumayan bisa sekalian sewa vila yang mahal untuk kita berlima, kata Ridho bangga. Aku tidak menyangkal bahwa Ridho adalah potret seorang aktivis yang sangat realistis. Kapan hari sempat kutanya mengapa dirinya selalu suka kehidupan organisasi: uangnya banyak, juga kalau berbonus bisa dapat kamar, gratis lho! serunya bangga. Menurutnya, kampus adalah dunia bagi mafia-mafia uang “Jika beruntung, maka dirimu pasti dilibatkan dalam roda perputaran uang itu, hitung-hitung bisa buat beli gitar ori meskipun bekas” tutur Ridho. Diriku sampai lupa bahwa hari ini harus menyiapkan materi buat presentasi besok, karena jika tidak, aku tidak bisa membayangkan cacian seorang Rini yang melihat teman bodohnya ini tidak setor materi.

          Begitu sampai di kos-kosan, aku mendapati Vergo sedang menelpon gebetannya, ya dia bermukim di atas kamarku persis. Kulihat dirinya ketawa sendiri, terkadang sedih, rupanya dia mencoba berempati dengan mengikuti cerita-cerita yang dibuat oleh gebetannya di telepon. Bicara soal asmara ya, meskipun begini aku juga punya pacar, Dita namanya, tetapi dia tidak seperti Riska, gebetannya Vergo, yang setiap malam meneror Vergo dengan cerita-ceritanya yang panjang lebar tentang apapun dan siapapun. Aku lebih suka Dita yang kalau tiap malam Jumat selalu mengirimiku voice note mengajinya, merdu sekali. Malam ini Dita mengajakku keluar karena motornya rusak, dan dia menyuruhku mengantarnya untuk mengantar pesanan orang: buku pengajian untuk ibu-ibu, ayahnya adalah pemilik toko percetakan. Setengah materi yang telah kususun kutinggal dengan membiarkan laptopku menyala, segera kukeluarkan motor, lalu berangkat memenuhi apa yang memang Difta inginkan.

          Ya sudah kita pulang, selesaikan tanggung jawabmu, tutur Dita yang membatalkan ajakannya ke kedai kopi gegara aku bercerita memiliki tugas. Dita merupakan potret paling ideal bagiku sejak Elen dan Qhuluqi menolak keseriusanku, sedangkan Difta dengan entengnya menerimaku secara tulus meski kalau urusan keluar diriku tidak bisa menjamin akan selalu mentraktirnya. Dirinya adalah putri bungsu dari imam besar Masjid Al-Haq, tempatku sholat Jumat karena memang di sana banyak nasi bungkus. Meski ayahnya imam besar, namun beliau selalu menerimaku dengan sopan ketika sowan, ya meskipun sampai saat ini beliau masih menganggapku sebagai sahabatnya Difta, bukan pacarnya. Laptop yang sedari tadi kutinggal menyala, kini mati. Kupencet beberapa tombol dan tidak merespon apapun. Lalu kucolokkan kabel cas, akhirnya hidup. Tetapi, setengah materi tadi hilang, karena aku belum sempat menyimpannya. Bangsat!

          Diriku yakin, sesampai di kelas nanti aku pasti akan dimarahi oleh Rini gegara materi semalam kubuat ala kadarnya, yang penting cepat selesai. Bagaimana ya, Rini itu adalah potret mahasiswi ambisius, juga mengingat dia adalah asisten dosen. Apapun dan siapapun yang menjadikannya untuk berada di bawah tanggung jawab bersama, haruslah terlihat sempurna dan tidak cacat satu pun. Aku masih ingat betul nasib Vergo yang dicaci habis-habisan di toilet gara-gara dirinya membawakan materi yang disalin begitu saja dari situs abal-abal yang tidak berdasar, sejak itu Vergo enggan bergabung dalam proyek tugas apapun dengan regu Rini. Rini sendiri memiliki regu beranggotakan tiga orang: Abel, Salma, dan Tari. Merekalah regu para mahasiswi ambisi yang penuh dengan kesempurnaan, apapun yang menjadi tanggung jawabnya wajib sempurna. Tidak usah ditanya berapa IPKnya, yang pasti jauh lebih tinggi daripada kami-kami ini yang cenderung fluktuatif.

          Sungguh hari yang melelahkan dengan mendengar bacotan Rini yang mirip tetangga kamar, namanya Bu Felik, setiap pagi selalu saja dia ribut dengan suaminya. Bisa dikatakan aku beruntung dan merugi bertetangga dengannya, beruntungnya bacotannya itu selalu membangunkanku ketika akan kuliah, meruginya kadang-kadang di hari libur dia sangat menganggu tidurku yang kurang. “Ayo taruhan, siapa yang maju besok di Himajur? Kalau aku sih pegang Salma, sokongan omek-meknya banyak, juga dia lumayan bening boi” Vergo membuka obrolan sore ini di Warkop Kemudi. Obrolan kami setiap sore memang adalah seputar organisasi, jika malam sedikit akan berubah topik menjadi kisah asmara, lalu dini hari mendekati pagi akan dilanjutkan dengan obrolan seputar pengetahuan: mulai dari agama, filsafat, hingga dunia konspirasi. Jika Pak Berto, penjaga Warkop Kemudi, tidak mematikan semua lampu, kami tidak akan pulang dan akan terus bercerita tentang seisi dunia ini serta kemungkinan-kemungkinannya.

*

          Rabu kemarin Dita mengatakan kepadaku bahwa di jalanan belakang kampusnya, dia sempat dilecehkan dengan cara digoda oleh dua orang dengan cara mengumbar penisnya. Aku lalu menangis dan berteriak sekencang mungkin, dan mas-mas itu akhirnya lari, begitu katanya. Tangannya yang terus berair itu kugenggam erat, juga sesekali kukeringkan menggunakan jaketku. Dita ketakutan, aku tahu sejak dirinya bercerita tadi selalu mengeluarkan keringat banyak yang berhasil membuat cap di lengan baju dan kerudungnya. Kata Dita, mulai saat ini aku harus siap menjadi mas ojek yang senantiasa akan menjadi petugas antar jemputnya. Aku siap, begitu kataku, karena memang dia adalah kekasih yang sangat kusayangi. Diriku sebenarnya tidak kaget ketika Dita bercerita tentang pelecehan seksual di kampusnya, pasalnya aku banyak tahu dari Ridho yang sering rapat komisariat di sana, bahwa kampus Dita adalah sarang para buaya ganas. Mulai dari dosen hingga mahasiswanya, semua memiliki benih-benih nafsu yang liar juga ganas. Bahkan Ridho sering menulis di liputan persnya tentang kekerasan seksual di kampus Dita.

          Kenapa sih kamu dulu kok mau kuliah di sini? Tanyaku, lalu dia menjawab bahwa bukan keinginannya untuk berkuliah di sini, tetapi karena ayahnya yang memang ingin Dita kuliah di kampus Islam, biar tidak sesat, gitu katanya. “Dit, ayo kita voting suara” Teriak salah seorang teman Dita, lalu aku mengintruksikannya untuk pergi meninggalkanku. Ya, Dita tergabung dalam Senat Mahasiswa, kalau di kampusku namanya Dewan Perwakilan Mahasiswa. Tahun ini, dia dipercaya untuk menjadi tim pemilihan umum raya di kampusnya. Aku tidak meninggalkan Dita saat ini, karena aku percaya bahwa momen ini adalah bahaya jika membiarkannya sendiri. Biasanya, omek yang kalah akan selalu menuntut untuk voting ulang, dan biasanya akan keos, dan aku tidak mau Dita yang tersenggol psikisnya kemarin harus merasakan keosnya para omek-mek bangsat itu.

          Calon presiden yang maju kali ini adalah dari kelompok HMI dan IMM. Diriku tahu itu karena sejak tadi aku hanya melihat kerumunan beralmamater hijau dan merah gelap saja, tidak ada yang lain. Diriku yang tidak tahu apa-apa soal peta politik di kampus hanya diam dan mengamati saja, tidak lebih. Cuman jika keos, maka yang kulakukan hanya satu: membawa keluar Dita dari kampus ini, itu saja prinsip yang kupegang. Ketika sedang asyik menonton youtube di masjid, tiba-tiba ada yang menendang kakiku yang berselonjoran menghalangi pintu, aku akan berteriak dan tidak jadi karena yang menendangku ternyata Ridho. “Ngapain di sini, mbokep ya?!” katanya, lalu segera kubalas “Heh, Rumah Tuhan, tak cakar lho mulutmu!”. Ridho datang ke sini karena panggilan komisariat, ya koleganya dari HMI akan maju, dan jika menang dirinya akan mendapatkan uang. “Jadi ke Tawangmangu?” tanyaku, lalu Ridho hanya membalas dengan kalimat favoritnya: “Yoi” biar mirip Marco di serial anime One Piece.

*

          Praja Mukti Jayandaru (6540 suara) dan Sienna Diyandrinawati (4460 suara). Bisa dipastikan, minggu depan kami berlima akan merasakan dinginnya udara di Tawangmangu. Ridho segera memerintahkan kami berempat: aku, Vergo, Jansen, dan Bahar untuk mempersiapkan apa yang memang perlu untuk disiapkan. Rencananya, kami akan memanfaatkan liburan minggu tenang menjelang UAS ini untuk menikmati wisata Tawangmangu yang kata Pak Berto, dingin dan asri untuk sekelas kami yang berasal dari orang daerahan. Bahar segera menghubungi tempat rentalan mobil milik ayah temannya, Jansen yang bertugas memilih vila mewah bukan kaleng-kaleng, sedangkan diriku dan Vergo hanya disibukkan dengan menyiapkan segudang alasan kepada para wanitanya, utamanya aku yang harus memastikan kehidupan Dita aman di sini.

Setelah kiranya persiapan sudah aman semua, barulah kami bersiap untuk berangkat nanti malam, biar sepi. Memasuki larut malam di jalan tol yang panjang. Karena posisi mengantuk berat, kami tidak sadar ternyata mobil kami sedang menyusuri bahu jalan yang menukik tajam ke arah langit. Mobil yang dikendarai Vergo mencapai batas wajar dan berhasil menempatkan kami ke pelosok hutan. Posisi kronisnya: terbang hebat, lalu menerkami daun-bebatangan, dan berakhir di gubuk pemburu ilegal. Kejadian ini tidak luput dari jeritan hebat oleh teman-teman. Mereka semua akhirnya mati, sedangkan diriku tidak. Di sela-sela ketegangan, batuk bronkitisku berhasil memproduksi darah yang lebih kental dari biasanya. Bau bensin yang menyengat membuat diriku berinisiatif untuk keluar lebih cepat. Namun kenyataannya memang tidak semudah itu, separuh tubuhku mati rasa hebat. Rusuk yang menembus paru, juga tengkorak kiri yang tertembus besi pintu mobil.

Kepasrahan ini ditemani oleh musik pop di radio mobil yang masih menyala juga saling bertaut dengan debar jantung, dan darah yang terus mengalir pelan namun konsisten. Dengan menunggu maut menjabat pasti, masih saja diriku dapat mengingat betul cerita orang-orang kampus. Sebagai potret pengamat amatiran yang bodoh, diriku jelas tertarik untuk merangkum cerita mereka. Kebanyakan memang politik, strata kelas di kampus, hingga pelecehan seksual. Mulai dari hal yang berbau ideologis, kritis, rasis, bahkan sekelompok nasionalis yang layak dicap komunis. Kurasa diriku lebih banyak meresepsi kehidupan kampus sebagai peta bisnis politik, terhimpunnya kubu-kubu di kelas yang saling bersaing dan menindas, juga mengenai teka-teki keadilan di akademik maupun di luar kampus. Bagaimana kemudian pelecehan semakin marak, mahasiswa baru yang banyak dijejali oleh hal yang tidak prinsipil dengan kedok ilmu, juga kubu mayoritas di kelas yang akan selalu menindas.

Api membakar sekeliling, juga dedaunan kering yang ikut mendukungnya untuk bertambah besar. Hawa yang panas, tegang, dan perih, seolah mengingatkanku pada kalimat: “yang patah tumbuh, yang hilang berganti, yang hancur ya lebur”. Sial, apakah diriku memang harus mati dengan cara tragis seperti ini? Sembari menunggu darah segar yang terus mengucur di mulut, aku masih bisa mengingat bagaimana wajah Dita sebagai potret mahasiswi yang lembut dan tidak membebani kekasihnya dengan hal apapun. Kututup mata yang sembab ini, kuposisikan tubuh setengah hancurku menghadap kiblatnya orang-orang timur, juga kupaksa bersholawat dalam hati meskipun hatiku sobek terkena besi mobil, lalu membayangkan bagaimana Dita terus memotivasiku agar kuat menghadapi strata di kelas-kelas kampus, juga bisa kuingat dengan jelas bagaimana Ridho yang realistis gemar melobi-lobi suara dengan omek lain, terakhir Vergo yang selalu yakin bahwa pernyataan cintanya bulan depan akan diterima dengan tulus oleh Riska. Aku bisa membayangkan cerita orang-orang kampus dengan betul di sela-sela habisnya darah di tubuh kurusku ini, juga bensin yang terus memercikkan dirinya ke arah api. Duar!