Pengabdi Setan 2: Komuni merupakan film horror yang rilis pada tahun 2022. Film ini bisa dibilang merupakan horror Indonesia yang sukses: hingga saat ini sudah banyak ditayangkan di luar negeri. Hal yang membuat film ini sukses selain dari segi skenario, ada pula unsur sinematografi yang sangat mendukung sekali. Unsur sinematografi yang dimaksud adalah mengenai proses mengolah video rekaman (hasil syuting) menjadi sebuah film utuh.

        Sinematografi pertama yang perlu diperhatikan dalam film ini adalah teknik syutingnya. Dalam film ini, sutradara menggunakan teknik very long shot (VLS), artinya, proses syuting akan menampilkan aktor bersamaan dengan kondisi lingkungan sekitar. Bisa dibilang, seperti proyek teater yang direkam. Teknik ini akhirnya memposisikan aktor sebagai potret masyarakat wilayah mana dengan kondisi yang seperti apa. Dalam konteks ini, lingkungan sekitar aktor akan sangat menentukan seperti apa nanti perilaku aktor ke depan.

          Dalam film ini, komparasinya adalah potret rumah susun tua yang berada di pinggiran kota Jakarta dengan perpaduan masyarakat yang menghuni rumah susun tersebut. Potret masyarakat di rumah susun tersebut digambarkan kebanyakan bukan pekerja kantoran, karena menyigi ragam dengan realitas tempat dimana mereka tinggal: yakni rumah susun tua yang murah dan berada di pinggiran kota Jakarta. Selain itu, frame pinggiran Jakarta ini adalah dekat laut. Kita akhirnya bisa melihat potret ekspresi para penghuni rumah susun ini dengan mengkomparasinya terhadap rumah susun yang ditinggalinya.

        Sinematografi kedua yakni dari segi pencahayaan. Dalam forum behind the scenes, sutradara film ini dengan gamblang mengatakan bahwa teknik pencahayaan yang digunakan adalah natural light. Natural light (cahaya alami) artinya dalam proses syuting, sangat minim sekali cahaya. Kebanyakan memang film ini terkesan agak redup, karena menggunakan cahaya alami: siang menggunakan cahaya matahari yang masuk di sela jendela, kalau malam menggunakan lampu rumah susun biasa. Hal ini akhirnya menimbulkan efek seram, karena minimnya pencahayaan, dan hal ini yang ingin ditampilkan dalam film ini.

          Teknik pencahayaan seperti ini secara tidak langsung akan memengaruhi aktor untuk lebih real memperagakan adegannya. Karena, seolah-olah aktor merasa seperti bukan syuting film, melainkan uji nyali asli. Hal ini tampak sekali ketika kita melihat adegan ketakutan yang diperagakan aktor, adegan tersebut sangat murni dan luwes sekali. Bahkan penonton dalam bioskop juga merasakan hawa tegangnya, karena unsur gelap dan jumpscare yang dikonsep sangat bagus dan mengena sekali.

      Terakhir adalah proses editingnya. Film ini menggunakan teknik green scene dan memadukannya dengan naturality prepare. Teknik perpaduan ini yang jarang ditemukan dalam film horor di Indonesia. Rata-rata, horor di Indonesia hanya menggunakan salah satu saja, namun dalam film ini menggunakan perpaduan itu. Teknik ini memungkinkan beberapa adegan yang tidak mencapai batas wajar syuting dan akhirnya dibantu dengan efek green scene: yakni menambahkan elemen visual yang tidak dapat diambil secara natural.

Selain itu, adapun naturality prepare, yakni adegan yang membutuhkan efek yang bisa saja dibuat menggunakan green scene, namun dibuat secara natural. Hal ini salah satunya dapat dijumpai pada bagian ketika adegan banjir. Adegan banjir dalam film ini adalah asli, dimana dibutuhkan puluhan truk air isi ulang untuk membuat banjir buatan. Adegan ini akhirnya sangat memengaruhi aktor dalam menyikapi sebuah banjir, seperti emosional dan rasa takut terkena air yang ditampilkan dalam wujud ekspresinya. Selain banjir, ada pula adegan ketika puluhan pocong sujud. Puluhan pocong tersebut adalah boneka buatan asli, bukan editan. Hal ini juga memengaruhi aktor yang tampak dalam ekspresi takutnya, karena berhadapan langsung dengan replika pocong di dunia nyata.

Pada intinya, ketiga unsur sinematografi di atas yang bisa dikatakan eksklusif dalam dunia perfilman di Indonesia. Ketiganya jarang dijumpai dalam film horor Indonesia. Menyinggung pada paragraf pembuka, film ini juga bagus dalam segi skenario. Dalam artian, di dalamnya menyiratkan satu pesan propaganda, bahwa kekuatan baik tidak selamanya bisa mengalahkan kejahatan. Dalam film ini, pesan tersebut digambarkan dalam adegan ketika pak ustad (agamis) yang mati dibunuh secara tragis oleh setan (sihir).


Oleh: Rafi Ferdiansyah