“Le, mbok ya kalo berangkat itu sekalian bawa rantang ini”, sore-sore hujan deras begini ibu sedang memarahiku: tadi pagi aku lupa membawa rantang berisi masakan buncis ke kantor pakde, kebetulan searah dengan kampusku. Terkadang, diriku ingin protes ke ibu, mengapa setiap Rabu dan Jumat ia selalu memasakkan untuk pakde. Padahal, ayah juga sekantor dengannya, tetapi kenapa selalu pakde yang dimasakkan kayak gini: bahkan ayah jarang dibawakan makanan dari rumah. Sebagai orang yang tidak muda lagi, pikiranku sering sedikit kacau, misalnya: “Ibuk ini punya hubungan apa sih sama pakde?” Sungguh, itu pikiran terburukku ketika melihat fenomena ini, ya walaupun memang motif ibuku bisa dibilang sangat cocok dengan asumsiku.

Nanti Mbak Dea mau mampir ke sini, kamu beli ayam bakarnya Pak Slamet ya Le, suruh ibu. Ponsel kentangku langsung kupelantingkan ke kasur dan segera memenuhi permintaan ibu. Meskipun di luar masih hujan, aku tetap kekeh buat keluar malam ini, karena kalau tidak, uang saku minggu besok bisa dipastikan akan kosong. Laju motor keluar gang dan aku dapat melihat Honda Brio putih hampir menabrakku dari arah kanan, kuputar motor ke arah pintu mobil dan pemilik mobil membuka kacanya “Mau ke mana, kok buru-buru?!” Ternyata itu Honda Brio milik Mbak Dea, dalam hatiku: bangsat, hampir saja aku mau ribut sama pemilik mobil ini. Mau beli ayam mbak, buat makan e sampean, teriakku segera meninggalkannya sementara Mbak Dea hanya merespon dengan jari jempol saja. Lalu pergi begitu saja setelah membuatku kikuk di tengah hujan malam ini.

Sampean nginep di sini aja nduk, udah malam dan sampean pasti capek, nanti Vergo biar tidur di kamar tamu, rayu Ibu ke Mbak Dea: dia baru pulang dari kegiatan kampus, dan besok pagi sekali harus sudah berangkat lagi, jarak rumahnya dari kampus jauh, sedangkan rumah kami hanya 1km saja, alternatifnya harus menginap di rumah kami, dan aku harus siap berkorban. Mbak Dea menyetujuinya dan langsung ke kamar mandi buat mandi air hangat, lalu tidur di kamarku. Sial, fotoku dengan Nimaz pasti akan dilihat sama dia. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, karena ruang tamu banyak sekali nyamuk, aku jadi tidak bisa tidur nyenyak semalam. Padahal, aku sudah menggunakan obat nyamuk dobel: bakar dan oles, tetapi tetap saja aku dihajar tanpa ampun.

Seusai mandi, aku langsung mengambil nasi panas dan mengangin-anginkannya, lalu akan mengambil lauk dan ibu tiba-tiba memukul sendokku dengan sutil: “Ini sarapannya Mbak Dea, nanti buat kamu nunggu sampai dia berangkat dulu ya!”. Entah kenapa ibu selalu mendahulukan saudara daripada anaknya, aku kadang sempat berpikir, apakah kebanyakan ibu memang seperti itu ketika dihadapkan pada momen yang seperti ini?. Mbak Dea pun akhirnya pamitan ke kami, dan setelah dia berangkat aku langsung menarik tangan ibu buat segera masuk ke rumah, ada yang ingin kutanyakan kepadanya. Kamu ini kenapa kok narik-narik ibu, katanya dan kubalas: “Buk, kenapa sih kok sesuatu yang ada hubungannya sama pakde selalu membuat ibu merasa nggak enakan?”, tanpa menunggu lama dia langsung mengomeliku panjang dan lebar.

Dari omelan itu, aku bisa menyimpulkan bahwa pakde adalah seseorang yang berjasa bagi bapak. Keluarga kami bisa hidup enak seperti ini karena bantuan dari pakde: bapak dimasukkan ke kantornya pakde. Bisa dibilang, kehidupan kami sebelum bapak kerja di kantornya pakde adalah susah, bahkan aku sempat tidak akan dikuliahkan karena tidak ada biaya. Setelah bapak kerja di sana, semua langsung berubah. Aku bisa berkuliah, bahkan bapak sudah menjamin bahwa selepas wisuda nanti aku boleh berlanjut kuliah lagi di Jogja ataupun kerja di cabang milik pakde yang ada di Malang. Intinya, kehidupanku ke depan bisa dipastikan enak. Kini, aku tau apa alasan ibu selalu membawakan sayur buncis ke pakde tiap Rabu dan Jumat. Dan juga kenapa ibu selalu memperlakukan Mbak Dea terlalu spesial, beda dengan saudara kami yang lain. Aku sudah tau semua jawabannya. Intinya adalah pakde!




Oleh: Rafi Ferdiansyah