Sastra memang produk fiksi. Meskipun begitu, sastra juga selalu dikaitkan dengan terjemahan suatu budaya yang abstrak, hal ini tentu tidak melepas kemungkinan bahwa produk sastra adalah mahal usia, seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Bumi Manusia, bahkan Ayat-ayat Cinta. Menurut Lukens (1999) sastra setidaknya memberikan penawaran atas dua hal, yakni kesenangan dan pemahaman. Dua hal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa produk sastra juga berisi mengenai hiburan, karena mustahil kesenangan dicapai tanpa melalui hiburan. Bahkan Lukens sendiri memberikan ketegasan bahwa yang dimaksud hiburan di sini bukan semata-mata untuk kategori tertentu, melainkan memang sangat inklusif. Dalam artian ini, produk sastra sebenarnya tidak dikonsumsi hanya untuk kategori tertentu saja, dalam artian adalah dewasa, melainkan anak-anak juga berhak dan layak untuk mengonsumsi produk sastra.

Selain Lukens, adapun Saxby (1991) memberikan definisi lain bahwa sastra sebenarnya memberikan citra kehidupan manusia (image of life). Adapun yang dimaksud citra kehidupan di sini adalah penggambaran mengenai model-model kehidupan sebagaimana yang dijumpai di lingkungan sehari-hari, dan metode untuk membicarakan itu adalah imajinasi. Di sini imajinasi bekerja sebagai media pewatas yang mengungkap jalan cerita di kehidupan nyata. Saxby tentu tidak menyempitkan pemahaman dan penggambaran citra kehidupan sebagai produk yang terbatas untuk dikonsumsi. Bahkan pemahaman Lukens mengenai sastra yang inklusif adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh Saxby. Citra kehidupan di sini digambarkan bukan hanya sebagai tokoh yang memang ada di kehidupan nyata, seperti manusia yang meliputi karakter petani, pelajar, pedagang, penari, dsb, melainkan tokoh yang bahkan tidak masuk akal pun, seperti tokoh binatang yang bisa berbicara juga tidak luput. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa sastra adalah luas dan tentu inklusif.

Dari kedua pendapat di atas mengenai sastra dan inklusivitasnya, jelas bahwa produk sastra tidak lagi diasumsikan untuk kategori tertentu. Juga pembagian atas nilai-nilai sastra tentu berbeda di setiap kalangan yang mengonsumsinya. Dalam dunia anak-anak misalnya, hal-hal seperti nilai emosi, perasaan, pikiran, hingga pengalaman moral tentu berbeda dengan dunia dewasa. Hal ini yang akhirnya disebut sebagai sastra anak: sebuah disiplin sastra yang memiliki nilai dan metode yang berbeda dari sastra pada umumnya. Sastra anak lebih mengedepankan aspek-aspek yang berkaitan dengan dunia mereka. Tetapi kembali ke definisi awal, bahwa sastra sekali lagi adalah produk fiksi yang memiliki latar belakang budaya. Meskipun genre anak sudah berbeda dengan genre orang dewasa, namun aspek budaya tidak boleh dan tidak akan pernah lepas. Hal ini dapat dikatakan sebagai metode penerjemahan budaya. Bagaimana kemudian sebuah budaya yang abstrak diterjemahkan dalam penggambaran yang sangat mudah dan mampu menggerakkan imajinasi anak-anak. Hal ini jelas berbeda dengan sastra orang dewasa yang masih menggambarkan budaya yang bersifat konotatif.

Seperti yang telah dibicarakan di atas, bahwa sastra anak merupakan sastra yang memerhatikan dunia anak sebagai objeknya. Burhan (2004) menambahkan bahwa dunia anak-anak bahkan bisa lebih luas daripada dunia dewasa, karena memang berangkat dari daya imajinatif anak-anak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan dunia dewasa. Kebanyakan anak-anak lebih suka menganggap apa yang ada di sekitarnya sebagai miliknya (teman), bahkan jika objek tersebut adalah hewan sekalipun. Sastra anak dalam jenisnya terbagi menjadi beberapa jenis seperti cerita rakyat, dongeng, fabel, cerita pendek, komik, dsb. Adapun jika melihat dari sejarahnya, sastra anak bermula dari cerita-cerita lisan yang sedikit banyak ditulis pada abad 17-18 (Sarumpaet 2017). Hal ini sebenarnya sama dengan fenomena yang ada di Indonesia, bahwa cerita anak rata-rata adalah anonim. Dalam artian ini cerita anak sebenarnya adalah cerita yang terus menerus disalurkan dari zaman ke zaman melalui media lisan.

Dalam perkembangannya di Indonesia, sastra anak mulai diperkenalkan sebagai buku bacaan pada tahun 1905, dan diperkirakan mulai ada, dalam bentuk folklore, pada tahun 1800-an (Winarni 2014). Sastra anak secara esensi sebenarnya sama dengan sastra umum, bedanya adalah ia memiliki selera tersendiri yang lebih layak bagi anak-anak. Maka bisa disimpulkan mengapa sastra terbagi hanya pada dunia anak saja, analogi sederhananya adalah bahwa sastra dilewati oleh dua lingkup masa, yakni dunia anak dan dunia dewasa (sastra umum). Sastra anak adalah tahap permulaan, sedangkan sastra umum adalah tahap peminatan. 


Oleh: Rafi Ferdiansyah

 






RUJUKAN

Lukens, Rebecca. 1999. A Critical Handbook of Children Literature. New York: Longman.

Nurgiyantoro, Burhan. 2004. “Sastra Anak: Persoalan Genre.” Humaniora 16(2):107–22.

Sarumpaet, Riris Toha. 2017. Metode Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Saxby, Maurice, and Gordon Winch. 1991. Give Them Wings: The Experience of Children Literature. United Kingdom: Basingstoke.

Winarni, Retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.