Selain Lukens, adapun Saxby (1991)
memberikan definisi lain bahwa sastra sebenarnya memberikan citra kehidupan manusia (image of life). Adapun yang
dimaksud citra kehidupan di sini adalah penggambaran mengenai model-model
kehidupan sebagaimana yang dijumpai di lingkungan sehari-hari, dan metode untuk
membicarakan itu adalah imajinasi. Di sini imajinasi bekerja sebagai media pewatas
yang mengungkap jalan cerita di kehidupan nyata. Saxby tentu tidak menyempitkan
pemahaman dan penggambaran citra kehidupan sebagai produk yang terbatas untuk
dikonsumsi. Bahkan pemahaman Lukens mengenai sastra yang inklusif adalah sama
dengan apa yang dimaksud oleh Saxby. Citra kehidupan di sini digambarkan bukan
hanya sebagai tokoh yang memang ada di kehidupan nyata, seperti manusia yang
meliputi karakter petani, pelajar, pedagang, penari, dsb, melainkan tokoh yang
bahkan tidak masuk akal pun, seperti tokoh binatang yang bisa berbicara juga
tidak luput. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa sastra adalah luas dan tentu
inklusif.
Dari kedua pendapat di atas mengenai sastra dan
inklusivitasnya, jelas bahwa produk sastra tidak lagi diasumsikan untuk
kategori tertentu. Juga pembagian atas nilai-nilai sastra tentu berbeda di
setiap kalangan yang mengonsumsinya. Dalam dunia anak-anak misalnya, hal-hal
seperti nilai emosi, perasaan, pikiran, hingga pengalaman moral tentu berbeda
dengan dunia dewasa. Hal ini yang akhirnya disebut sebagai sastra anak: sebuah disiplin sastra yang memiliki nilai dan metode yang berbeda dari sastra
pada umumnya. Sastra anak lebih mengedepankan aspek-aspek yang berkaitan dengan
dunia mereka. Tetapi kembali ke definisi awal, bahwa sastra sekali lagi adalah
produk fiksi yang memiliki latar belakang budaya. Meskipun genre anak sudah
berbeda dengan genre orang dewasa, namun aspek budaya tidak boleh dan tidak
akan pernah lepas. Hal ini dapat dikatakan sebagai metode penerjemahan budaya.
Bagaimana kemudian sebuah budaya yang abstrak diterjemahkan dalam penggambaran
yang sangat mudah dan mampu menggerakkan imajinasi anak-anak. Hal ini jelas
berbeda dengan sastra orang dewasa yang masih menggambarkan budaya yang
bersifat konotatif.
Seperti yang telah dibicarakan di atas, bahwa
sastra anak merupakan sastra yang memerhatikan dunia anak sebagai objeknya. Burhan
(2004)
menambahkan bahwa dunia anak-anak bahkan bisa lebih luas daripada dunia dewasa,
karena memang berangkat dari daya imajinatif anak-anak yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan dunia dewasa. Kebanyakan anak-anak lebih suka menganggap
apa yang ada di sekitarnya sebagai miliknya (teman), bahkan jika objek tersebut
adalah hewan sekalipun. Sastra anak dalam jenisnya terbagi menjadi beberapa
jenis seperti cerita rakyat, dongeng, fabel, cerita pendek, komik, dsb. Adapun jika
melihat dari sejarahnya, sastra anak bermula dari cerita-cerita lisan yang sedikit banyak ditulis pada abad 17-18 (Sarumpaet 2017). Hal ini sebenarnya sama dengan fenomena yang ada di Indonesia, bahwa cerita anak
rata-rata adalah anonim. Dalam artian ini cerita anak sebenarnya adalah cerita
yang terus menerus disalurkan dari zaman ke zaman melalui media lisan.
Dalam perkembangannya di Indonesia, sastra anak
mulai diperkenalkan sebagai buku bacaan pada tahun 1905, dan diperkirakan mulai
ada, dalam bentuk folklore, pada tahun 1800-an (Winarni 2014).
Sastra anak secara esensi sebenarnya sama dengan sastra umum, bedanya adalah ia
memiliki selera tersendiri yang lebih layak bagi anak-anak. Maka bisa
disimpulkan mengapa sastra terbagi hanya pada dunia anak saja, analogi sederhananya
adalah bahwa sastra dilewati oleh dua lingkup masa, yakni dunia anak dan dunia
dewasa (sastra umum). Sastra anak adalah tahap permulaan, sedangkan sastra umum
adalah tahap peminatan.
Oleh: Rafi Ferdiansyah
RUJUKAN
Lukens, Rebecca. 1999.
A Critical Handbook of Children Literature. New York: Longman.
Nurgiyantoro, Burhan.
2004. “Sastra Anak: Persoalan Genre.” Humaniora 16(2):107–22.
Sarumpaet, Riris Toha.
2017. Metode Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Saxby, Maurice, and
Gordon Winch. 1991. Give Them Wings: The Experience of Children Literature.
United Kingdom: Basingstoke.
Winarni, Retno. 2014. Kajian
Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
0 Komentar