Di sebuah sekolah menengah atas, terlihat dua orang laki-perempuan sedang berjalan menuju ke sebuah tempat yang sedari rumah akan mereka tuju, keduanya sama-sama memakai masker medis berwarna hijau semi kebiruan. Salah satu diantaranya adalah anak laki-laki berusia kira-kira 18 tahun, dan yang satunya adalah seorang ibu berusia sekitar setengah abad lebih. Mereka berdua berjalan menuju ke sebuah kelas. Dan memang, saat ini adalah waktu pengambilan rapor yang diadakan oleh SMA Bendera, Jakarta. Keduanya telah sampai di depan kelas, sebelum masuk mereka berdua diharapkan untuk mencuci tangan di tempat yang telah disediakan, kemudian mengisi daftar kehadiran yang telah disediakan oleh pengurus kelas. Setelah membubuhkan tanda tangan, mereka berdua pun masuk. Wali kelas menyuruh mereka buat duduk di kursi tunggu. 28 dari 45, itulah nomor antrian mereka.

‘Nasta Dwi Hendrawan.‘ panggil wali kelas.

Mereka berdua segera menuju ke sumber suara. Wali kelas memasang senyum lebar kemudian mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Wali kelas kemudian membuka buku tebal berwarna hijau dan menulis beberapa hal di kertas, agak lama hingga membuat mereka sedikit kebosanan. Selesai dengan kesibukan yang tidak diketahui oleh Nasta dan ibunya, akhirnya wali kelas memberikan sebuah buku rapor berwarna hijau, warna khas dari SMA Bendera. Nasta dan ibunya kemudian membuka lembar demi lembar dari rapor tersebut. Tak lama setelah itu, ibu Nasta memasang wajah kaget, hal tersebut diketahui dengan terangkatnya kedua alis matanya. Tanpa berlama-lama, kemudian ia segera bertanya kepada wali kelas tersebut.

‘Mohon maaf ibu, kenapa kok nilai anak saya jadi turun sedrastis ini?.‘ tanyanya.

‘Jadi begini ibu, ananda Nasta dalam 2 semester pertengahan ini jarang hadir di dalam KBM. Bahkan, ananda juga tidak pernah mengumpulkan tugas. Ananda hanya mengikuti pekan UTS dan UAS saja di setiap semester, itupun tidaklah lengkap terpenuhi di semua mata pelajaran yang dia ikuti. Sebenarnya, sesuai silabus sekolah ini, ananda layak untuk tinggal kelas. Namun, karena rekam jejaknya yang sangat unggul di 2 semester awal membuat sekolah memberikan sebuah kompensasi untuk tetap naik kelas. Begitu ibu yang bisa saya jawab untuk persoalan yang ditanyakan.‘ jelasnya beliau.

‘Kalau boleh saya bertanya kepada ananda, kenapa ananda Nasta berubah sedrastis ini? Latar belakang apa yang membuat rekam jejak unggulnya di 2 semester awal menjadi hilang? Mohon maaf sebelumnya, tetapi kami selaku pembimbing ananda harus tahu mengenai hal tersebut bu.‘ tanya beliau lagi.

‘Kami bukan orang mampu yang tidak memiliki batasan terhadap syarat belajar online bu.‘ tegas Nasta.

‘Setiap semester, sekolah selalu memberikan jatah kuota internet untuk para siswa agar dapat mengatasi hal tersebut Nasta.‘ jawab wali kelas tersebut.

‘Persoalannya bukan terletak pada kuotanya bu.‘

‘Lantas apa yang membuatmu jarang sekali untuk ikut kelas belajar nak?.‘ tanya ibunya.

‘Ketidakmerataan pembagian kuota tersebut yang menjadi pokok persoalannya!.‘ agak naik pitam rupanya ia.

‘Jikalau hal tersebut memang terjadi, kamu bisa segera melapor ke Tata Usaha sekolah ini Nasta. Kenapa kamu tidak melapor?.‘ Tanya wali kelas.

‘Gerbang masuk di sana dijaga oleh satpam yang tugasnya menjaga kesterilan sekolah dari pendatang. Dari situ saja kita bisa bayangkan bahwa untuk bisa masuk ke dalam sekolah ini haruslah mempunyai bukti kesehatan yang ditulis di atas kertas. Sedangkan tidak sedikit siswa di pinggiran kota besar ini yang mempunyai kapasitas ekonomi yang memenuhi untuk bisa menyatakan dirinya sehat di atas kertas putih, termasuk saya!.‘ jelas Nasta.

‘Tetapi Nasta, kenapa kamu tidak mencoba melapor lewat online?.‘ tanya wali kelas.

‘Online? Yakin bu bisa optimal? Coba posisikan diri ibu sebagai siswa seperti kami, betapa tertekannya mental kami sebagai siswa ketika melihat guru kami yang slow respon dalam membalas pesan online kami, bahkan yang terburuknya adalah no respon sama sekali.‘

‘Terkait slow respon, mungkin Nasta harus sabar. Yang penting pesan Nasta tersampaikan.‘

‘Saya sudah katakan di awal, coba posisikan diri ibu sebagai siswa seperti kami. Ibu pasti akan memikirkan bahwa slow respon sengaja dibuat oleh mereka untuk memutar masalah sedemikian rumitnya.‘

‘Tetapi Nasta, jujur bahwa ibu tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap siswa ibu, atau bahkan orang lain yang asing pun.‘

‘Persoalannya adalah tidak banyak orang seperti ibu. Bahkan tidak sedikit juga orang yang berkebalikan dari ibu.‘

Perdebatan kecil antara Nasta dengan wali kelasnya telah mewarnai suasana kelas hari itu. Khususnya para wali murid yang hadir di ruangan tersebut, mereka merasa iba akan nasib Nasta. Wali kelas juga memperlihatkan wajah iba kepada siswa asuhnya tersebut, nyatanya masih banyak juga pegawai atau staff sekolah yang berbuat tidak sebagaimana semestinya. Banyak pihak yang dirugikan dari persoalan tersebut, apalagi banyak sekali orang-orang pandai yang duduk di kursi tinggi dengan jabatan segunung, mereka juga sempat menyatakan bahwa hal ini merupakan awal dari pembelajaran di era modernisasi.

Apakah mereka sengaja membuat generasi unggul seperti halnya Nasta atau siswa berprestasi lainnya menjadi tidak berkompetensi dalam membangun sebuah bangsa? Mengingat tidak sedikit siswa berprestasi menjadi bodoh hanya karena mereka tidak bisa memenuhi syarat belajar online.

*

Dengan hasil rapot yang tidak memuaskan, Nasta memiliki tujuan dalam liburan kali ini dan dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk melupakan kejadian yang telah berlalu. Hari itu adalah Senin pagi, hari dimana seharusnya ia berhadapan dengan gawai untuk sekolah daring. Namun karena ini adalah momen libur, maka kebiasaannya dialihkan untuk membantu ibunya untuk berjualan di pasar yang terletak agak jauh di sebelah selatan rumahnya. Nasta banyak menghabiskan hidupnya hanya untuk membantu ibunya berjualan dan belajar. Terkadang jika ia bosan dengan kehidupan monotonnya tersebut, ia akan menuju ke sebuah gerai tempat berkumpulnya anak-anak yang tidak sekolah karena keterbatasan kebutuhan. Gerai tersebut oleh kebanyakan orang dijuluki sebagai tempat kotor yang seharusnya tidak ada di kampung tersebut.

‘Saya ambil timun dua puluh kilo sama tomat seperempatnya, ini uangnya.‘ kata Nasta kepada juragan besar yang ada di seberang daerahnya.

‘Ini dek kembaliannya, sampaikan salam ke ibu ya.‘ kata juragan tersebut sembari menyodorkan uang kembalian, sedangkan Nasta membalasnya dengan anggukan kecil.

‘Dek tunggu.‘ panggil juragan tersebut kepada Nasta.

‘Iya pak?.‘

‘Ini, kamu pakai masker saya.‘

‘Buat apa?.‘

Hah? Buat apa? Ya biar kamu nggak tertangkap satpol pp.‘

Aduh. Iya deh, makasih pak.‘

        Nasta mengambil barang jualan ibunya ditemani dengan Agus. Dia merupakan sahabat karib Nasta yang selalu menemaninya setiap saat jika tidak sedang sekolah. Agus membopong dua karung berisi timun tersebut, dan Nasta membopong setengah karung yang berisikan tomat. Agus melemparkan karung tersebut ke gerobak yang dipasang permanen di belakang motor tua milik Nasta. Setelah semua karung tergeletak di gerobak tersebut, Nasta menyalakan motor tersebut dan diikuti Agus yang berbonceng berada di belakang Nasta. Sebelum jalan, Nasta sempat membuang masker pemberian juragan tadi, sedangkan Agus tidak.

‘Nas, kenapa kamu buang maskernya?.‘ tanya Agus.

‘Aku tidak suka dengan aturan bodoh ini.‘

‘Maksudnya?.‘

‘Bayangin aja Gus, sekolah kugadaikan gegara kebijakan medis, juga masker bodoh ini.‘

‘Nas, tapi ini peraturan pemerintah.‘

‘Nggak peduli, selama kebijakan tersebut tidak berefek baik terhadapku selaku masyarakat kecil. Apa gunanya mematuhinya?!.‘

‘Selepas kita nurunin barang-barang ini, ayo mampir ke gerai. Kita dinginkan isi kepalamu itu.‘ kata Agus yang mengakhiri debat singkatnya dengan Nasta.

         Nasta yang sampai ke tempat berjualan ibunya langsung menurunkan barang dagangan dan segera menata sesuai dengan instruksi dari ibunya. Agus pun juga membantu Nasta dalam menyusun tatanan barang dagangan tersebut agar terlihat cantik dan memikat daya beli konsumen. Selepas menatanya, Nasta berpamitan kepada ibunya. Di tengah perjalanan, Nasta melihat beberapa anak kecil yang memegang gawai. Ketika Nasta mendekat ke salah satunya, ternyata anak tersebut sedang mengikuti pelajaran via daring. Namanya adalah Asig, dia anak kecil berumur 10 tahun kelas 3 SD. Asig terlihat sedang membolak balik hp-nya dan juga tak jarang ia berlari kesana sini. Nasta kemudian mempertanyakan tingkah aneh dari Asig tersebut, dan jawaban dari Asig adalah karena sinyal hp-nya yang jelek.

‘Nggak mungkin Sig, kita hidup di pinggiran kota besar. Sini aku liat.‘ kata Nasta sembari melihat hp-nya.

‘Pantesan gabisa.‘ katanya lagi.

‘Kenapa mas Nasta?.‘

‘Sini kamu liat, ini kuota kamu udah habis.‘

Nggak mungkin mas, semalem baru aja dikasih sama guruku.‘

‘Kamu semalem habis unduh game mungkin.‘

‘Enggak mas Nasta, kata ibuku itu hp dibuat belajar gaboleh diisi game tau.‘

‘Sini pinjem lagi hp-nya.‘

        Nasta mengotak-atik hp Asig, dan Agus pun hanya bisa terdiam saja melihat tingkah dari Nasta. Nasta menelusuri berapa kuota yang diberikan oleh sekolah kepada Asig. Dan ternyata, kuota tersebut memang turun semalem dengan nominal 100MB untuk jangka waktu 1 bulan. Nasta memasang wajah merah padam dan Asig menanyakan hal tersebut.

‘Negeri bobrok!.‘ kata Nasta.

‘Kenapa mas?.‘

‘Gapapa Sig. Kamu gabisa ikut sekolah daring hari ini. Kuota kamu udah habis.‘

‘Kok cepet banget ya mas?.‘

‘Mending, kamu beli paketan sekarang.‘

‘Gaada uang mas. Ibu sakit, jualannya juga sepi dari kemarin.‘

‘Nih kamu pake uangku, semangat ya sekolahnya.‘

       Asig segera berlari menuju toko internet buat membeli paketan guna mengikuti sekolah daring. Sementara Nasta dan Agus melanjutkan perjalanan mereka menuju ke gerai. Dan sesampainya di gerai, mas Toni langsung menyuguhkan secangkir kopi sisa kepada mereka berdua.

‘Punya siapa mas?.‘ tanya Nasta.

‘Akbar tadi buat ngga dihabisin.‘

‘Wah pas banget nih lagi haus.‘ kata Agus langsung meminum kopi tersebut.

‘Pak Karyo mana mas?.‘ tanya Nasta.

‘Belum bangun, tuh di dalem.‘

‘Gimana? Bagus nggak nih?.‘ tanya mas Toni yang saat itu sedang mengotak-atik sepeda motornya.

‘Jelek mas, udahlah lupain aja.‘

‘Hah? Serius?.‘

‘Nasib jadi kaum kecil mas.‘

‘Wah, cerita sabi nih Nas.‘

‘Males mas, lupain aja.‘

‘Hahaha. Hidup buat enjoy aja Nas.

          Nasta masuk ke dalam gerai tersebut dan ia menjumpai teman-temannya tidur semua di lantai. Ia melangkahi teman-temannya tersebut dan menuju ke kamar Pak Karyo yang ada di belakang. Nasta melihat Pak Karyo sedang tertidur pulas di kamarnya. Dari ekspresi wajahnya ketika tidur, Pak Karyo memang terlihat kecapekan. Nasta menutup kembali pintu kamarnya dengan perlahan dan ia pun ikut tiduran bersama teman-temannya di lantai gerai.

*

Sedikit cerita bahwa gerai yang dimaksud sebenarnya adalah rumah pak Karyo. Dulunya adalah toko buku kecil beliau dengan istrinya, hingga akhirnya palu hakim yang menyatakan bahwa Pak Karyo resmi pisah dari istrinya, hal itu membuatnya harus menempuh hidup yang keras sendirian. Rumah dan segala aset domestik diambil oleh istrinya, sedangkan toko tersebut diambil oleh pak Karyo sebagai tempat menyambung sisa hidupnya yang keras. Pak Karyo adalah mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Kronologisnya adalah bahwa Pak Karyo menikahi istrinya yang berstatus dosen sekaligus anak dari Rektor Universitas Indonesia. Dulunya, Pak Karyo dikenal sebagai dekan yang memiliki pamor cukup tinggi di Universitas Indonesia. Hingga kemudian masalah internal keluarga yang mengakibatkan Pak Karyo harus bercerai dengan istrinya tersebut.

       Setahun selepas cerai mungkin baik-baik saja bagi Pak Karyo, karena ia masih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri melalui pekerjaannya yang memang pada saat itu masih sangat tercukupi bagi kehidupan satu orang saja. Hingga kemudian, tiga tahun telah lewat dan masalah pun mulai timbul di permukaan. Pak Karyo merasakan bahwa dirinya diusir secara halus dari jabatannya sebagai dekan oleh rektor, maka dari itu untuk menjaga profesionalitas kerja, maka dengan senang hati ia menerima dan menjalani alur buatan tersebut. Kronologisnya adalah rektor menawarkan kepada Pak Karyo bahwa Universitas Indonesia akan membuka program studi baru, yaitu Sastra Arab.

       Berangkat dari alasan karena Pak Karyo adalah lulusan pondok yang memang memiliki skill lebih di situ daripada akademikan yang lain, maka rektor langsung mengajukan nama Pak Karyo untuk memegang kendali atas prodi baru tersebut. Dua bulan setelah wacana dibuat dan rektor juga sudah membuat rancangan baru terkait prosedurnya, maka pada momen itu Pak Karyo secara resmi menyatakan dirinya untuk mundur dari jabatannya sebagai dekan dan kemudian mengambil alih proyekan prodi baru yang akan diadakan di Universitas Indonesia. 1 bulan setelah Pak Karyo turun dari jabatannya untuk mengisi prodi baru tersebut, hasil yang tidak pernah diharapkan pun berdatangan.

       Mulai dari silabus yang ditolak, rancangan yang tidak disetujui dan berbagai macam persoalan lainnya. Dan secara resmi, tepat empat bulan setelahnya, program studi baru tersebut gagal diadakan oleh Universitas Indonesia dengan beberapa alasan tertentu. Rektor mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Pak Karyo atas kegagalan perancangan tersebut. Dan sebagai ahli akademik yang sebenarnya sudah paham akan rencana busuk dari rektor tersebut, dan juga agar tetap terjaga wibawanya beliau sebagai akademik, tidak lama kemudian ia menyatakan secara resmi pengunduran diri dari Universitas Indonesia sebelum kejadian memalukan lagi yang akan menimpa beliau ke depannya.

‘Sudah makan?.‘ tanya Pak Karyo yang berhasil membangunkan Nasta.

‘Sudah pak.‘

‘Gimana rapot?.‘

‘Jelek pak.‘

‘Hahaha, pasti kuota ya?.‘

‘Kok bapak tau?.‘

‘Nak, nggak cuman kamu aja yang terbebani dengan kuota. Mahasiswa bapak hari ini banyak yang melakukan aksi ke rektorat terkait kuota.‘ kata pak Karyo sembari merokok.

‘Serius pak?‘

‘Gini nak, bukan hal yang salah sebenarnya jika kamu menemukan persoalan seperti ini di negeri ini.‘

‘Maksudnya pak?.‘

‘Selama suatu negeri tidak terafiliasi dengan sesuatu, hal seperti ini adalah tabu jika kamu menemukannya.‘

‘Maksud bapak?.‘

‘Gini nak, di suatu negara itu ada sistem penggeraknya sendiri.‘

‘Siapa pak? Presiden pasti kan?.‘

‘Kamu akan tau sendiri.‘

‘Terus pak?.‘

‘Udahlah, kamu masih terlalu dini buat tahu hal itu.‘

        Nasta mencoba kembali menyerap dan memahami maksud dari Pak Karyo tersebut. Mungkin yang dimaksud oleh pak Karyo sebagai sistem penggerak adalah presiden, karena bagaimanapun juga presiden memiliki hak atas pengaturan yang ada di negara.

*

        Satu bulan berjalan dengan cepat semenjak pengumuman liburan untuk tingkat SMA diberlakukan di hari itu. Kini Nasta dan seluruh anak SMA yang ada di pinggiran Jakarta, dan seluruh Indonesia resmi memulai kembali aktivitas belajar. Metode yang digunakan adalah sama, yaitu masih melalui media online dengan sistem daring. Nasta sangat ingat kata-kata dari wali kelasnya ketika pengambilan rapot dulu, jika ia mau hak kuota, maka ia harus tembus ke tata usaha sekolah. Nasta memang bukanlah seorang siswa yang orang tuanya memiliki ekonomi yang cukup. Bahkan, untuk bisa sekolah saja ibu Nasta harus rela bangun di sepertiga malam untuk mulai berjualan di pasar.

SMA Bendera memang terletak di kota Jakarta, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bukanlah esensial lokasinya. SMA yang ada di Jakarta sangatlah banyak dan memang dari sekian banyaknya sekolah yang ada di Jakarta, SMA tempat belajar Nasta masih tergolong sekolah pinggiran yang dianaktirikan oleh pemerintah. Memang, ketidakmerataan kasih sayang di dunia sosial ternyata juga mengairi di dunia pendidikan.

         Nasta adalah satu dari tujuh puluh lebih anak yang tidak mendapatkan pemerataan pembagian kuota belajar. Di sekolah daring perdana ini, Nasta terpaksa harus memecah tabungannya yang seharusnya ia gunakan untuk kuliah esok untuk dialihkan membeli aksesoris kebutuhan sekolah online. Kenyataannya adalah bahwa Nasta sedikit geram dengan tingkah aneh sekolahnya. Tetapi, bagaimanapun juga ia harus tetap menjaga sikap terhadap sekolah, karena umur Nasta di sekolah tersebut tidaklah lama, kisaran adalah 10 bulan untuk kemudian ia selesai menunaikan kewajiban di SMA Bendera.

‘Nak, kamu udah kelas 12. Belajar yang giat ya.‘ kata ibu Nasta sembari memasak.

‘Iyaa bu.‘

        Suatu hari ketika Nasta bermain ke gerai biasanya, ia mendapati bahwa di gerai tersebut ada mahasiswa Pak Karyo yang sedang bersilaturahmi dengan beliau. Mahasiswa tersebut memiliki pawakan gondrong, berkumis tipis, dan berkulit sawo matang. Namanya Arki, mahasiswa Antropologi semester 8. Pak Karyo sungguh menunjukkan wajah bahagia ketika ia dijenguk oleh mahasiswanya. Kata Arki, ia kangen dengan keberadan pak Karyo yang selalu merokok di belakang kantin untuk sekadar tidak ketahuan dengan pihak akademik lainnya, bahwa ia terlalu dekat sekali dengan mahasiswa. Pak Karyo memang tergolong dosen sekaligus dekan yang ramah terhadap mahasiswanya. Sifat tersebut yang membuat Pak Karyo tetap dianggap ada keberadaannya di dalam kampus meskipun beliau sudah purna jabatan.

‘Ini namanya Nasta, masih polos hahaha.‘ kata pak Karyo sembari menunjuk Nasta.

Halo Nasta, gimana sekolah?.‘ tanya Arki yang menepuk bahu Nasta.

‘Aman bang.‘

‘Gimana Nasta, lanjut kuliah nggak nih?.‘

‘Insyaallah lanjut.‘

‘Sip, semangat Nasta.‘

‘Gimana kuota Nasta?.‘ tanya pak Karyo.

‘Yaa gitu lah pak.‘

‘Gini Nak prinsipnya. Ketika kamu tertekan, pikirkan lalu lawan.‘

‘Maksudnya pak?.

‘Gaada hewan bodoh yang mau dimangsa secara pasrah Nasta.‘ sambung Arki.

‘Maksudnya?.‘

‘Sikat Ki, haha.‘ kata pak Karyo yang seolah-olah memberi instruksi kepada Arki.

‘Di dalam sebuah sistem sosial, kelas masyarakat proletar akan selalu ditindas oleh borjuis. Jika proletar tersebut pasrah, dia sama saja setor tenaga dengan harga murah secara kredit kan? Ya nggak?.‘

‘Gimana tuh maksudnya?.‘

‘Gini deh analogi simpelnya. Ketika pekerja pabrik ditindas oleh pemilik pabrik, dan pekerja tersebut pasrah, dia sama saja setor tenaga demi tenaga kan ke pemilik pabrik tersebut. Paham nggak?.‘

‘Iya juga, terus hubungannya apa?.‘

‘Nah good questions. Komparasiin sama realitas yang kamu hadapin sekarang. Bayangin aja, kamu bayar SPP tiap bulan dan nominalnya sama ketika kamu offline dulu, terus kuota nggak cair. Terus, uang spp lari kemana? Pekerja kebersihan libur, guru juga kan ada yang seenaknya kalo ngisi kelas online. Terus operasional perawatan sekolah seminimal mungkin berkurang 40%, uang kegiatan osis ataupun ekskul nggak kepake, dan lain-lain. Coba kamu bandingin dengan keadaan yang normal seperti dulu. SPP sama di setiap keadaan, baik online maupun offline. Kemana coba larinya uang SPP pas di momen online? Kalo dikalkulasi, sisa banyak banget kan. Hahaha‘

‘Bener juga mas.‘

‘Kamu dan temen-temen sekolahmu itu sebenarnya sekarang lagi dalam kondisi ditekan, tapi pihak sekolah punya cara cantik buat tekan kamu dan temen-temen lainnya.‘

‘Terus gimana mas solusinya?‘

‘Hahahaha.‘ ketawa berbarengan Arki dan pak Karyo.

‘Aku masih bisa toleran sih sebenernya, soalnya kamu masih SMA juga.‘ kata Arki sambil meminum kopinya.

‘Gini Nasta. Kamu pernah denger Revolusi Perancis nggak?.‘

‘Iyaa pernah.‘

‘Apa coba esensi dari Revolusi Prancis? Aku mau denger.‘

‘Pokoknya, kebijakan penguasa yang menindas rakyatnya mas. Gitu intinya.‘

‘Hmm, oke. Boleh deh untuk sekelas jawaban anak SMA nih.‘ kata Arki sembari setengah ketawa.

‘Dalam aspek rincinya. Revolusi Perancis itu berangkat dari sebuah kebijakan yang salah kan? Nah kebijakan tersebut memang bersifat monarkisme dan krisis moneter. Pada saat itu, tokoh publik yang bernama Napo merasa dirinya dan masyarakat tertekan. Kemudian munculnya rasa ingin merdeka untuk senasib masyarakatnya dari belenggu sistem tersebut. Dan puncaknya adalah pemberontakan, aksi massa, kudeta, dan lain sebagainya.‘ kata Arki.

‘Hubungannya apa mas?.‘

‘Hahahaha. Kamu nggak peka banget ya. Jadi gini Nas, dalam kondisi tertekan seperti kamu ini yang katanya diperlakukan secara tidak adil dalam pembagian kuota belajar. Nah ini jadi tantangan buat kamu dan temen-temenmu yang senasib denganmu. Gimana caranya agar kondisi tertekanmu itu hilang dan kamu bisa terbebas dari belenggu sistem yang salah, gitu Nas.‘

‘Caranya gimana mas?.‘

‘Hahaha. Aku disini nggak mengagitasi kamu Nas. Aku cuman memberikan konsep buat jalan berfikirmu Nas, nggak lebih. Terkait penyelesaian sendiri, ya harus kamu dong yang menyelesaikan. Kan kamu yang menghadapi persoalan itu, ya nggak nih?.‘

‘Iyaa mas bener, hehe.‘

          Arki kemudian mendapatkan gawainya berdering dengan kencang, tanpa lama-lama ia pun segera menjauh dan mengangkatnya. Nasta yang sehabis dibimbel dadakan sama Arki kemudian mendadak diam mematung, ia terlihat seperti memikirkan kembali apa yang telah disampaikan oleh Arki. Dan sementara itu, Pak Karyo hanya bisa memandang Nasta sembari senyum. Arki kembali ke tempat duduk asal dan kemudian ia berpamit kepada Nasta dan pak Karyo. Arki pun pulang, meninggalkan pengetahuan kritis kepada Nasta yang memang tidak didapat oleh kebanyakan siswa di tingkat SMA.

*

         Pekan ini adalah pekan terakhir UAS bagi SMA Bendera. Momen ini merupakan tempat diujinya pengetahuan anak-anak ambisi, sejauh mana mereka menguasai materi yang telah disampaikan seminimum mungkin oleh tendik. Nasta sebenarnya adalah termasuk kaum ambisi tersebut, tetapi dikarenakan bobroknya sistem belajar berhasil membuat ia tergusur dari nominasi siswa terbaik di sekolahnya.

         Jauh sebelum pekan ini, Nasta sempat mendapatkan wawasan baru dari Arki, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang sama-sama merasakan pahitnya sistem belajar virus. Nasta terngiang akan perkataan Arki tersebut, dan ia juga teringat akan peristiwa Revolusi Perancis yang diceritakan oleh Pak Gen, guru Sejarah. Bergetarlah badan Nasta ketika mengingat sosok tersebut, seolah-olah ia memiliki hasrat ingin memberontak layaknya tokoh Revolusi Perancis, Napo.

‘Besok udah selesai semester ini, saatnya guru-guru merekap nilai kita.‘ kata Guntur, kawan Nasta yang saat itu bermain ke gerai.

‘Besok sabtu, kita semua kumpul di depan sekolah.‘ kata Nasta yang tatapannya terlihat kosong.

‘Maksudnya?.‘ Tanya Guntur.

‘Kamu kumpulin anak-anak, besok kita demo di depan gerbang.‘

‘Buat apa Nas?.‘

‘Gun, buka mata kamu. Kita dimanipulasi sama sekolah selama ini. Terus kamu mau diem aja?! Hah?!!.‘

‘Nas, jangan berlebihan deh.‘

‘BERLEBIHAN GIMANA GOBLOK?!.‘ melayang tangan Nasta ke arah muka Guntur karena emosi yang tak terkendali.

‘NAS CUKUP!!.‘ sentak pak Karyo.

‘Nggak bisa pak kayak gini terus.‘

‘Kalo kamu pengen ajak temen-temenmu, buatlah propaganda yang cantik!.‘ kata pak Karyo.

       Tanpa menghiraukan perkataan dari pak Karyo, Nasta kemudian lari dari gerai dan kemudian diikuti oleh Guntur. Nasta terus berlari tanpa menggubris Guntur yang terus memanggil dari arah belakang. Guntur terus mengikuti Nasta yang terus berlari. Nasta berlari menuju ke arah sekolah dan di depan gerbang, ia segera dicegat oleh pak satpam. Mustahil bagi Nasta jika ia masuk. Ia mundurkan langkahnya beberapa langkah dari pagar depan sekolah. Guntur yang barusan sampai di depan sekolah hanya bisa melihat tingkah aneh dari Nasta yang saat itu termakan emosi.

‘SAYA BUTUH KEADILAN DI NEGERI INI!!!.‘ teriak Nasta sekencang mungkin.

         Para guru yang terdapat di dalam sekolah segera berlarian menuju ke sumber suara, termasuk para siswa kelas 10 yang baru masuk untuk melaksanakan UAS. Sekolah gaduh pada hari itu. Semua sorot mata tertuju pada Nasta seorang. Teriakan keadilan di atas ketidakadilan berhasil dilontarkan pada hari itu oleh Nasta, siswa berprestasi yang terbodohkan oleh sistem.

    Pada hari itu juga, Nasta secara resmi dikeluarkan dari SMA Bendera. Hal tersebut dikarenakan Nasta bertindak secara tidak pantas dan melontarkan ujaran kebencian terhadap institusi pendidikan, juga ia anarkis dengan memukul satpam dan siswa kelas 10 yang mencoba menenangkannya. Nasta yang merupakan korban terdampak wabah atas ketidakadilan kuota belajar secara resmi dibungkam dengan cara dikebiri dalam sektor pendidikan. Orang seperti Nasta memang menjadi musuh pemerintah yang patut dihabisi. Karena pada dasarnya, lebih baik bodoh tapi nurut, daripada pintar tapi membangkang. Itulah prinsip inti yang diemban di dalam negeri ini. Tidak akan ada yang berani merubahnya, kecuali jika ia siap untuk menerima resikonya.

-Selesai-



Oleh: Anisa Cahyaning Restualam