Aku diam mengutuki awan yang terlambat mendung. Juga pepohonan yang menutupi kemaluannya dengan rerimbun yang melebat. 

Kubuka senyum terpaksaku menerima hujan yang tak ditakdirkan turun hari ini. Hei hujan yang terlambat turun, tolong relakan bagian tubuhmu untuk kuminum, kali ini saja. Sungguh sia-sia selama ini diriku sebagai potret pahlawan yang berkeberatan atas semua hal. Memang bodoh memiliki tujuan dengan alasan munafik.

Deras hari ini kutampik menjadi saksi. Entah apakah Tuhan memindahku dari jalanNya yang sempat kutapaki dulu. Diriku lalu hanya bisa diam seribu wakaf. Menyusuri setapak-setapak yang becek seperti adonan. Juga pola setapak ini mengingatkanku tentang teka-teki keadilan yang sulit dipecahkan, bahkan oleh raja Jawa sekalipun.

Meski begitu, diriku yang remuk separuh tetap merasa tenang, mengalir, juga tidak mendengar hiruk pikuk kota dengan suara klaksonnya yang saling bertaut. Kurasa di sini sangat sepi, sayup, juga penuh spirit. Tumbuhan hijau yang sangat bervariasi, tak dapat dibedakan mana obat dan mana racun.

Jujur, aku ingin mengunyah kabut yang tak berwujud. Merasakan kesia-siaan dari uap yang terus menerus kugerus, hingga lebur. Juga menelan kehampaan dari fiksi yang realistis. Hingga aku batuk bronkitis. Memuntahkanmu pada akhirnya adalah kekalahan. Kalah dalam perjuangan, juga tirakat. 

Diriku kemudian pasrah menunggu di pojok sungai itu. Lalu terjun. Berharap ditemukan oleh warga, lalu dibungkus dan dikubur. Sayangnya tidak semanis itu. Nyatanya hidup bukan sekadar pencapaian, tetapi juga doa yang panjang.

Diriku yang terombang-ambing pada akhirnya menjumpai jalan terakhir. Kulepas jaket basah yang membungkus menyiksa. Lalu kubasuh anggota tubuh yang diijabah oleh wudhu. Kuarahkan rambut ikal panjangku ke arah belakang. Seolah membiarkan kening bertemu dinginnya lantai masjid. 

Subhanallah. Inikah yang Engkau maksud sebagai jalanMu. Bimbing bibir ini untuk terus bertahmid, kening yang selalu tersungkur, juga hati yang selalu berprinsip. Selama ini diriku merasa bahwa Tuhan telah pergi, padahal aku yang meninggalkannya.

Kepalaku tertunduk, memandangi lantai masjid yang tak bercorak dan diam untuk waktu yang lama, lalu merapal doa: Ya Shabuur perkenankan diriku untuk terus bersetapak di jalanMu. Sudah, aku tak ingin yang lain.







Puisi Oleh: Rafi Ferdiansyah