Berbicara mengenai hutan dan pengelolaannya di mata para pebisnis kertas memang sangatlah sensitif, apalagi kebutuhan kertas di era saat ini semakin dibutuhkan (untuk keperluan skripsi, bungkus lombok, bahkan hal yang berbau sentimental). Setidaknya deforestasi juga menjadi menu yang paling dominan disinggung oleh penulis pada plot cerita pendek unik terbitan Jawa Pos ini. Deforestasi (begitu nama tokoh dalam cerpen ini) berperan aktif dalam rangka penyajian isu seputar hutan dan singgungan halusnya, secara tidak sadar hal tersebut dapat membuka mata pembaca yang lebar mengenai krisis hutan di negeri tropis.

Deforestasi kebanyakan dipahami sebagai hal yang lumrah terjadi di negeri tropis dan subur seperti Indonesia ini. Strategis pada posisi garis kodrat Tuhan membuat Indonesia layak dinobatkan menjadi salah satu negeri subur dengan iklim tropis yang baik dalam segi penghijauan. Dengan melihat pada aspek tersebut, penggundulan hutan yang marak terjadi patut untuk ditindak lebih lanjut. Gaya kepenulisan sastrawi milik Tejo yang disajikan dalam plot cerita pendek ini juga barangkali bisa membikin pihak pengelolaan hutan merasa tersindir hebat.

Deforestasi digambarkan sebagai faktor yang dipicu oleh kelompok oligarki kota besar, seperti halnya Jakarta. Pendeknya adalah sebagai masyarakat awam pada daerah tropis, tentu sangat mudah bagi mereka untuk sekadar digusur dengan dalih kepentingan negara (bisa berupa pembangunan, pembaruan lahan, bahkan hal itu tidak begitu penting dibandingkan penambalan jalan yang berlubang). Agaknya edukasi dan aksi nyata oleh pemerintah terhadap masyarakat awam menjadi pilihan yang sulit saat ini. Kelompok oposisi subordinat (kritikus ya, bukan kritikan) dari para pebisnis kertas pada umumnya juga tidak bisa melakukan tindak apapun selain membacot dengan data-datanya.

Kasus deforestasi di Indonesia yang marak terjadi setidaknya harus mengalami titik juang yang transparan (karena ini proyek nasional, bukan proyekan anak OSIS maupun BEM yang banyak proses sunat-menyunat). Ini tentu menjadi instrumen baru bagi pejalan pemerintahan untuk mempertahankan gelar deforestatif yang saat ini mulai dipakai. Tejo sebagai penulis pada cerita ini seolah menggambarkan realitas yang sebenarnya terjadi. Hutan gundul, oligarki yang abadi, hingga musababnya sangat disinggung keras dalam plot cerita. Fenomena yang unik ini mungkin juga menggambarkan seolah-olah terjadi dua kubu yang saling menyalahkan atas bencana alam (sebut saja banjir, biar mudah dianalogikan). Dimulai dari pihak pertama yang menuduh pabrikan kertas sebagai dalangnya, dan di pihak lain penuduhan itu menyanggah bahwa pemerintah daerah sengaja menyunat biaya pencegahan kemungkinan terjadi bencana.

Kambing hitam dalam hal ini barangkali bisa menjadi pilihan yang menarik untuk dikaji. Sebagai seorang manusia yang memiliki kadar kognisi yang mahir, setidaknya dikotomi atas sengketa kedua kubu yang salah ini harus diluruskan (karena dampaknya lebih besar dibanding sengketa dua siswa yang lagi bertengkar). Kenyataannya adalah bahwa tidak ada intervensi apa pun terhadap dua kubu yang saling serang ini. Bahkan juga latar historis pada imperi yang pernah diasumsikan keji nyatanya tidak pernah memungkiri bahwa kondisi banjir ibu kota memang layak untuk dikonsumsi secara kontinu. Pemilihan kota Jakarta atas ibu kota tentu juga berangkat dari warisan kompeni, dengan kenyataan bahwa wajah ibu kota sudah lama tercoreng atas fenomena banjir yang bersifat kontinu. Hal ini barangkali menjadi pokok bahasan yang penting untuk dikaji, baik oleh akademisi maupun praktisi.



Oleh: Riffan Adian Affandi