Novel berjudul Cantik Itu Luka merupakan sebuah karya sastra lokal besar yang
dibikin oleh sastrawan besar. Mengisahkan tentang pergulatan yang sebenarnya
tidak begitu jelas, namun jika muncul keinginan untuk membaca sejarah Indonesia
yang dimulai pada pra kemerdekaan abad 20 hingga pasca kemerdekaan, maka novel
ini bisa dijadikan rekomendasi yang bagus untuk dibaca. Selain itu, novel
dengan tebal halaman yang mencapai angka empat ratus lebih ini pun memiliki
selingkung yang cukup bebas, seolah penulis melepas batas norma sosial dalam membikin
proyekan novel tersebut. Beberapa adegan seks bahkan mengalami titik penjelasan
yang cukup komprehensif, ini yang disebut sebagai erotisme sastra. Novel ini
juga mengisahkan tentang perjuangan kaum perempuan, maka tidak heran jika
kelompok feminis banyak yang menaruh rasa suka pada karya sastra ini.
Di
dalam novel ini, sebuah keniscayaan bahwa cantik diasumsikan sebagai luka yang
amat dalam oleh pemiliknya. Dari cantik lahir persaingan. Dari persaingan lahir
dengki. Dari dengki lahir permusuhan. Dari permusuhan lahir sebuah perang. Dari
perang lahirl korban. Dari korban lahir hasrat dendam. Dari hasrat dendam lahir
bebuyutan. Dari bebuyutan lahir sebuah tradisi yang konservatif. Lingkaran di
atas kenyataannya timbul musabab kecantikan. Betapa bahayanya seseorang yang
memiliki kadar cantik, barangkali juga tampan. Cantik dalam hal ini menjadi
tabiat merugikan yang suatu saat terpendam dengan sendirinya. Seperti halnya
perampok, para preman, para lelaki mesum bahkan dapat membahayakan aspek
kecantikan seseorang. Maka dari itu, kecantikan di sini tidak dipandang sebagai
sebuah anugerah yang menjanjikan. Kodrat Tuhan tidak bisa dianggap sebagai
sebuah penyesalan. Manusia tidak bisa melawan takdir.
Pada
kasusnya, tokoh yang cantik pada novel tersebut serupa dengan apa yang telah
dipaparkan pada lingkaran di atas. Bisa dibilang lingkaran setan yang tidak
memiliki keselesaian. Anugerah akan kecantikan bahkan dianggap sebagai senjata
yang nantinya akan membunuh pemiliknya. Menarik bahwa sebenarnya setiap orang
tidak memiliki gagasan yang sama mengenai kecantikan. Cantik bahkan dipandang
kutukan oleh sebagian orang karena memang kenyataannya seperti itu. Dalam hal
ini justru masyarakat tidak tahu dampak dari sebuah kecantikan. Bagaimana kemudian
cantik bukannya berkah malah mendatangkan bencana. Bahkan tokoh utama sempat
berdoa untuk lahir sebagai buruk rupa daripada melihat realitas yang
sebenarnya. Di manakah keadilan yang sesungguhnya?. Di pelosok sana bahkan ada
pula yang berharap bahwa dirinya ingin memiliki paras cantik. Di pelosok sini
berkebalikan dengan tidak mensyukuri bahkan mengutuki kecantikan yang diberi
oleh Tuhan. Sungguh aneh rupanya, manusia tidak tahu cara berterima kasih.
Secara
substansi novel ini membuka cara pandang masyarakat yang baru. Kemahiran
membikin novel yang tampak justru keberhasilan dalam memainkan unsur magis
untuk sekadar membuat bumbuan manis ataupun gurih pada sebuah alur maupun latar
cerita. Data sejarah pun tidak luput dalam proses penyisipan dengan perubahan
sedikit kronologisnya. Karya sastra yang fiktif sejatinya juga bisa dijadikan sebagai
data sejarah. Hal ini karena memang karya sastra merupakan refleksi langsung
mengenai peristiwa atau tragedi yang pernah terjadi pada suatu zaman. Sejarah
dalam hal ini merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan. Cara pandang
masyarakat yang buta akan sejarah barangkali terobati oleh sebuah karya sastra.
Dimulai dari peralihan kolonialisasi yang dilakukan oleh Belanda hingga
kemudian beralih kepada Jepang hingga PKI. Secara bumbu dapur, penulis terlihat
berani dalam meramu racikan khas Jogja yang didalaminya di kampus untuk membuat
novel tersebut enak dikonsumsi oleh masyarakat. Penambahan perspektif utamanya
adalah sejarah tentu menjadi terobosan yang unik barangkali.
Selain
substansi, novel ini juga memiliki kebolehan lain yang tidak kalah bagus dan
penting. Seperti halnya cara bergaya bahasa yang mengalir seperti sungai di
gunung. Gaya bahasa sendiri merupakan elemen yang tidak kalah pentingnya untuk
diperhatikan. Dengan bahasa masyarakat dapat mengonsumsi sebuah produk budaya,
dan dengan bahasa pula masyarakat setidaknya juga dapat memproduksi produk
budaya untuk proses translasi terhadap masyarakat lain. Dalam hal ini gaya
bahasa menjadi penting, meskipun juga sebenarnya jalan cerita yang disuguhkan
agak membuat pembaca berpikir dua kali, akan tetapi dengan bumbuan gaya bahasa
yang bagus maka hal tersebut tidak akan menjadi persoalan. Seolah dan memang
sengaja merepresentasikan bahwa gaya bahasa yang layak dikonsumsi oleh
masyarakat adalah tidak berbelit ataupun ilmiah. Menarik sebenarnya bahwa
aliran bahasa yang terdapat pada novel tersebut layak dan pantas untuk
dikonsumsi bahkan oleh anak SD sekalipun. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa
gaya bahasa menjadi unsur penopang dalam tubuh karya sastra, karena pada
dasarnya masyarakat menggunakan gaya bahasa sebagai medium apresiasi dan
kesukaannya.
Kebebasan
adalah hak dalam diri manusia. Kira-kira itu slogan yang dipakai atau
memengaruhi masyarakat dalam menciptakan sebuah karya sastra. Melepas batas
konvensi barangkali menjadi ciri khas tersendiri bagi penulis yang notabene
bukan alumni sarjana sastra. Karya sastra pada umumnya memiliki rambu-rambu
ataupun undang-undang tersendiri. Dengan kemahirannya, penulis bahkan mampu
melanggar norma sastrawi yang kemudian membikin kiblat sastra Indonesia agak
sedikit berubah. Hal ini tentu menjadi terobosan baru bagi sekelas sastrawan
pada masa peralihan orde baru. Tidak hanya itu, bumbuan magis juga menjadi
aspek yang perlu untuk digaris bawahi oleh para sarjana sastra. Dengan pengaruh
kental yang didapat dari sastrawan barat pencetus realisme magis setidaknya
juga mengalami proses terjemah pada karya sastra yang dibuat. Ide rasionalitas
dan tradisi konservatif masyarakat juga kerap digabung menjadi satu kesatuan
yang kemudian dipertemukan pada novel ini. Hal tersebut pada faktanya mampu
membikin corak sastra Indonesia yang baru dan estetis.
Erotis
yang dibungkus dengan keumuman mungkin dianggap sebagai hal yang tidak sopan
oleh beberapa kelompok masyarakat. Barangkali berbeda konteksnya pada kasus
ini. Erotis bahkan sudah menjadi hal yang seringkali disorot dengan label
kebebasan seperti yang di atas. Keerotisan memang mendapat kecaman buruk dari
masyarakat umum. Akan tetapi, ramuan bumbu dapur yang sedap membikin unsur
erotisme menjadi layak untuk sekadar dikonsumsi oleh publik. Gambaran mengenai
hubungan badan pun sebenarnya merupakan cerminan atas kejadian yang memang nyata.
Pelecehan seksual, kronologis percintaan, bahkan sebutan mengenai hal yang
berbau seks menjadi dominansi yang berciri khas. Hal tersebut secara tidak
sadar membuka konvensi baru pada dunia kesusastraan modern di Indonesia. Erotis
yang mulanya tidak boleh tampil pada orde baru nyatanya tempo sesudah novel ini
terbit banyak bermunculan, bahkan novel ini mungkin menjadi novel generasi
pertama yang mengusung sub tema erotis dalam tanda kutip kebebasan berekspresi.
Tidak
kalah menarik juga bahwa feminisme kerap kali mendapat perhatian khusus pada novel
ini. Perempuan sebagai tokoh pada novel tersebut sejatinya memiliki sisi
kefemininannya masing-masing. Meskipun pada dasarnya citra keperempuanan pada
novel tersebut digambarkan sebagai pelacur, penghibur, dan lain sebagainya,
akan tetapi sisi keberanian dan ketangguhan perempuan pada sisi cerita tersebut
juga layak untuk diapresiasi dan diberi acungan jempol. Sosok keperempuanan
yang berani melawan penjajah, berani mengambil resiko, bahkan memiliki
ketangguhan yang setara dengan laki-laki pada umumnya menjadi ciri khas tersendiri
yang disuguhkan penulis dalam novel tersebut. Tidak hanya itu, perempuan dalam
hal ini digambarkan sebagai sosok primadona yang disegani oleh para pria.
Memang pada awal alur cerita ini dikisahkan kesengsaraan hidup tokoh perempuan,
namun setelahnya dibubuhkan kesejahteraan dengan bumbuan seks yang semakin
menambah gairah sebuah karya sastra untuk terus dikonsumsi oleh pembaca. Sisi
feminitas yang bagus juga menjadi pilihan tersendiri bagi pembaca perempuan
untuk menambah minat bacanya. Menulis perempuan dengan penulis laki-laki memang
menjadi ihwal yang unik dan menarik.
Adapun
tokoh ataupun penokohan yang ditampilkan dalam novel tersebut juga memiliki keunikan
dan ciri khasnya masing-masing. Setiap tokoh pada dasarnya unik dan memiliki
kisah berbobotnya masing-masing. Pada dasarnya, unsur tokoh dalam novel tersebut
juga memiliki dominansi yang bahkan hampir menutupi plot cerita. Kebanyakan
tokoh yang ditunjukkan pada novel ini adalah cerminan realitas sosial yang
barangkali pernah ada pada masa cerpen tersebut diciptakan. Penokohan yang unik
dan menarik menjadi daya tarik sendiri bagi pembaca untuk sekadar tidak ingin
diganggu dalam menunaikan tuntutan pembacaan atas novel tersebut. Ketokohan
yang diulas pada kasus ini ialah detail dan konkret. Bahkan pembaca dapat tahu
akan karakteristik setiap tokohnya.
Terakhir
barangkali kesimpulan yang dapat dipetik dari novel tersebut bahwa kreativitas
pada diri manusia seharusnya bisa dikembangkan. Sebagai tolak ukurnya ialah
mampu terealisasikan atas penjabaran seluas-luasnya mengenai definisi cantik
yang sebenarnya. Penjabaran itu menghasilkan definisi yang luas. Utamanya ialah
mengenai bahwa cantik tidak bisa dianggap sebagai ihwal keberuntungan saja.
Definisi cantik yang semacam itu menurut novel ini tidaklah komprehensif.
Cantik juga bisa didefinisikan sebagai kesengsaraan. Hal tersebut secara eksplisit
digambarkan melalui plot, penokohan, dan latar yang melingkupi novel tersebut.
Perspektif pendek masyarakat mengenai cantik pada akhirnya diperluas dalam
novel ini. Tidak hanya itu, novel ini juga berusaha menerjemahkan data sejarah
yang abstrak untuk kemudian bisa dikonsumsi secara gamblang oleh masyarakat
awam. Barangkali ini yang dinamakan sebagai kreativitas kemanusiaan.
Oleh: Rafi Ferdiansyah
1 Komentar
Kerennn....
BalasHapus