Iwan Simatupang merupakan seorang sastrawan Sumatera kelahiran Januari 1928 dengan nama asli Iwan Martua Dongan Simatupang. Bisa dibilang, Iwan Simatupang kenyang akan didikan Islam oleh lingkungan domestik dan sosial sekitarnya pada masa kecil. Sejak kecil, Iwan Simatupang menetap di Aceh dan selalu diberi asupan mengenai agama Islam oleh ayahnya meskipun pada akhirnya ia memilih Katolik sebagai kepercayaan absolutnya. Sebenarnya, Iwan Simatupang bukanlah seseorang yang memiliki minat lebih terhadap karya sastra. Hal ini dapat dibuktikan pada rekam jejak pendidikan Iwan Simatupang yang notabene bukan ke ranah sastrawi.

    Pada tahun 1948, ia memutuskan untuk berhenti dari sekolah dan lebih memilih bergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) sebagai komandan pasukan dan memimpin organisasi Pemuda Indonesia di Sumatera Utara yang berhasil membuat dirinya dijebloskan ke dalam penjara, walaupun tidak lama (Deni, 2019). Karier pendidikan yang pada mulanya sempat terhenti kemudian dilanjutkan hingga ke Fakultas Kedokteran di Surabaya setelah dirinya dinyatakan tamat dari HBS pada tahun 1953. Di samping padatnya jam kuliah, ia tidak melewatkan waktu kosong untuk sekadar mempelajari berbagai rumpun ilmu seperti filsafat, antropologi, sastra, hingga agama.

    Pada kenyataannya, Iwan Simatupang tidak mampu melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran karena tidak tahan melihat merahnya darah dan memutilasi bangkai manusia. Tidak lama setelah itu ia kemudian pindah ke Jakarta yang menjadikan dirinya suka memperhatikan masalah ataupun isu tentang kebudayaan. Hal ini kemudian mengantarkan dirinya menjadi seorang penulis, beberapa karya yang dihasilkan antara lain: Mimbar Indonesia dan Siasat. Fenomena tersebut juga kemudian mengantarkan Iwan Simatupang untuk lebih giat lagi belajar kebudayaan, filsafat, dan drama di Eropa pada tahun 1954-1958. (Iwan Simatupang belajar antropologi di Leiden pada tahun 1956, belajar drama di Amsterdam pada tahun 1957, dan belajar filsafat di Paris pada tahun 1958)

    Pada tahun 1955 akhir, Iwan Simatupang menikah dengan Corrine Imalda de Gaine (Corry) di Amsterdam. Tidak lama setelah itu ia akhirnya dianugerahi dua orang anak. Setelah menyelesaikan studinya di Eropa pada tahun 1958, ia memutuskan untuk kembali di Indonesia bersama istri dan kedua anaknya. Berselang dua tahun kemudian, Corry meninggal dunia karena menderita penyakit tipus. Kematian istrinya tersebut mampu membuat Iwan Simatupang merasa terpukul hebat hingga kemudian ia berhasil memproduksi novel berjudul Ziarah yang terbit 9 tahun kemudian. Pada tahun 1961, Iwan Simatupang juga telah selesai menunaikan naskah novel berjudul Merahnya Merah yang diterbitkan 7 tahun kemudian. Di samping itu, pada tahun yang sama Iwan Simatupang akhirnya menikah untuk kedua kalinya dengan Taneke Burki. Pernikahannya dengan Tane kenyataannya tidak langgeng, ia harus berpisah tiga tahun setelahnya.

    Selain menjadi penulis, Iwan Simatupang juga kerap bekerja sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi, dan juga sebagai wartawan dan pemilik showroom mobil. Pada akhirnya Iwan Simatupang suka cara hidup yang nomaden, tempat tinggal yang tidak menetap itu disebabkan oleh keterlambatan diterbitkannya buku-bukunya (Teguh, 2020). Ia juga beberapa kali mengeluh kepada HB Jassin atas keterlambatan penerbitan buku-bukunya, padahal ia butuh uang untuk biaya hidup. Tidak lama setelah itu livernya bermasalah. Hal tersebut berangkat dari salah satu faktor, yakni terlalu banyaknya kegiatan yang dijalaninya.

   Tepat pada tahun 1970, Iwan Simatupang menghembuskan nafas terakhir musabab penyakit livernya yang tidak kunjung membaik. Semasa hidupnya, Iwan Simatupang berhasil menyelesaikan setidaknya 4 novel besar yakni 1) Merahnya Merah, 2) Ziarah, 3) Kering, 4) Koong. Karya yang dihasilkan oleh Iwan Simatupang juga kerap memperoleh beberapa penghargaan di kelas nasional maupun internasional. Cerpen-cerpennya yang berserakan kemudian dikumpulkan menjadi satu (Tegak Lurus Dengan Langit) pada tahun 1982. Adapun puisinya juga dikumpulkan menjadi satu (Ziarah Malam) pada tahun 1993. Iwan Simatupang merupakan penulis sastra yang hebat. Dengan ciri khasnya yang inkonvesional tersebut, ia mampu membuat corak baru kesusastraan pada masa itu dan setelahnya, di samping itu HB Jassin juga mengakui kebaruan dalam novel yang diproduksi olehnya (Sugono, 2015).


Oleh: Rafi Ferdiansyah

 


Referensi

Deni, F. (2019, January 7). Biografi Iwan Simatupang, Penulis dan Pembaharu Sastra Indonesia - Ayo Berbahasa. Ayoberbahasa.Id. https://www.ayo-berbahasa.id/2019/06/biografi-iwan-simatupang.html

Irfan Teguh. (2020, August 4). Sejarah Hidup Iwan Simatupang yang Tinggal di Hotel Salak Kamar 52. Tirto.Id. https://tirto.id/sejarah-hidup-iwan-simatupang-yang-tinggal-di-hotel-salak-kamar-52-cGoc

Sugono, D. (2015). Artikel Iwan Simatupang. Ensiklopedia Sastra Indonesia. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Iwan_Simatupang