“Seharusnya
logo, atribut, dan arah gerak komunitas ini tidak begitu, alangkah baiknya
begini.” Rupanya agak melenceng pembahasan pada kelas di pagi itu.
“Adakah
di sini yang tergabung dalam komunitas ini?.” sopan beliau.
“Kori
pak.” Teriak hampir seluruh kelas seraya menunjuk seorang laki-laki yang duduk
di pojokan kelas. Rupanya ia malu. Bukan karena komunitasnya, tetapi karena
sorotan seluruh isi kelas pada hari itu. Beliau menatap dengan datar. Tenang
dan hanyut seperti air rolag. Kori sial hari ini. Ia berandai tidak masuk
kelas, lebih tepatnya menutup mukanya dengan bantal dan balutan selimut tebal
pada tubuh kurusnya.
Dengan perkataannya, beliau mencoba mempermalukan nama sebuah komunitas dengan topeng seorang Kori. Bisa diibaratkan seperti adonan tepung martabak yang digoreng. Sangat renyah sekali beliau menggoreng isu komunitas melalui topeng Kori. Kasihan ia. Sisi negatif komunitas ia tanggung di depan teman dan dosennya.
Kelas selesai. Mahasiswa segera pulang, sedangkan Kori tidak. Bersama dengan sohibnya (Kajun), ia memutuskan untuk membicarakan suatu hal. Hari ini ia malu. Dilampiaskan rasa malu itu dengan cerita tidak jelas kepada sohibnya.
“Saya
bawa kunci ruang ekstrakulikuler. Alangkah baiknya kita mengobrol di sana dan
membahas filsafat barangkali.” Kata Kori.
“Saya
kira lebih cocok menyanyi, ini gitar.”
“Mengapa
demikian?.”
“Filasafat
itu abstrak, rasanya ia tidak perlu dibahas oleh otak dangkal seperti kita.”
“Baiklah.
Saya akan mengobrol sendiri saja.” tutupnya lalu pergi menuju ke tempat tujuan.
Kampus
pagi itu sepi. Hanya beberapa petugas kebersihan, mahasiswa abadi, dan mereka
berdua saja yang mendiaminya. Biasanya berseliweran mahasiswi dengan
kerudungnya yang seksi. Seolah hari ini Tuhan menakdirkan kampus untuk sepi.
Keputusan Tuhan tidak salah, manusialah yang dangkal dalam memahami maksud
keputusan Tuhan.
Mereka
berdua menghabiskan 4 jam di ruang tersebut. Posisi mereka hampir mirip dengan
dekorasi rental PS pada umumnya. Keduanya sama-sama menatap layar laptop.
Rencana yang tadinya disusun tidak benar kejadian. Mereka akhirnya memutuskan
untuk melihat podcast berjudul: “Islam
Sontoloyo”. Hasil garapan oleh mahasiswa tingkat akhir pada perguruan
tinggi di Jakarta. Hal itulah yang membuat mereka tertarik untuk menontonnya. Barangkali
mereka cocok dengan gaya berbicara yang serupa dengan status mereka berdua.
Langit
biru memaksa matahari untuk turun. Hasil pertikaian itu memunculkan fenomena
alam yang indah bagi anak yang suka mabuk dan meninggalkan Sholat Maghrib.
Kuasa Tuhan bisa dibilang lebih indah daripada momen itu. Ia tidak berkeberatan
memberikan rezeki bagi manusia yang tidak dekat bahkan memusuhi-Nya. Rasanya
hal ini perlu ditiru oleh presiden atau kepala negara. Bagaimana kemudian ia
tetap menyejahterakan kelompok atau masyarakat yang pernah membencinya ketika
pemilu.
*
“Kenapa
tidak pernah kelihatan?.”
“Saya
bingung mas.” Balas Kori.
“Ini
rokok, hisaplah.” Tawarnya ketika melihat kawan seperjuangan komunitasnya
bingung.
Akhir-akhir
ini Kori merasa resah. Sejujurnya ia malu. Fenomena pada hari itu rasanya tidak
akan pernah hilang dari ingatannya. Ibarat lem besi yang ditempel pada kerangka
layang-layang. Sebelum tidur bahkan ia sempat memiliki rasa sesal mengapa ia
datang ke kampus pada hari itu. Sungguh momen yang memalukan. Ia berpikiran
bahwa teman-temannya akan memperlakukan dirinya secara berbeda setelah kejadian
di hari itu. Andai ia bisa bertemu dengan Tuhan dan sujud di hadapannya sambil
menangis. Tempat peraduan Kajun adalah Silvi. Tempat peraduan Nayla adalah
Angga. Sedangkan tempat peraduan Kori tak lain hanyalah lantai masjid yang
nantinya digunakan untuk sujud.
Ia
diserang berbagai macam pertanyaan. Otak dangkalnya itu tidak mampu menampung
ribuan pertanyaan yang datang dari arah kegelapan. Sejujurnya ia bingung. Jika
terdapat sungai, barangkali ia akan menceburkan dirinya di situ.
“Kenapa
dulu saya bergabung dengan komunitas ini?.” tanya Kori.
“Kenapa
tanya saya? Tanyakan pada dirimu.”
“Andai
saja dulu saya memiliki pemikiran yang matang, saya tidak ak...”
“Kamu
menyesal bergabung dengan kami?.” Potongnya.
“Tidak
mas.”
“Apa
masalahnya?.”
“Pandangan
mahasiswa, bahkan dosen terhadap komunitas ini sangat jelek.”
“Setiap
orang memiliki cara pandang yang berbeda.”
“Sabarlah
Kori. Kita terima secara ikhlas stigma buruk dari mereka. Yang terpenting,
jangan lupakan tujuan kita bersama. Di sana masyarakat miskin, petani, pedagang
kaki lima yang tergusur, anak kecil yang mengemis, hingga panti asuhan menjadi
subjek yang harus kita perhatikan. Mereka yang memandang kita buruk tidak akan
pernah tahu rasa kedinginan kita musabab kehujanan ketika mencari galang dana
untuk panti asuhan, mereka tidak akan pernah tahu rasa tertekan kita yang
dibatasi oleh komunitas sesama mahasiswa, mereka tidak akan pernah tahu usaha
kita dalam membedah pasal untuk sekadar membela pedagang kaki lima, bahkan
mereka tidak pernah tahu jati diri kita yang sebenarnya. Kita tidak akan pernah
malu dianggap mereka buruk. Yang tampak hanyalah sisi luar jati diri komunitas
ini, mereka tidak akan pernah tahu sisi dalam dan tujuan baik kita sebenarnya.”
Imbuhnya.
Agaknya
ia tak perlu mendengarkan ceramah ustad Hannan Attaki. Kawan seperjuangannya
itu mampu bahkan menjadi motivator terbaik di dunia menurutnya. Dengan sedikit
tausiah itu, setidaknya sedikit ketenangan pikiran dapat ia cengkram kembali.
Kesimpulan yang didapat agaknya seperti ini: setiap ruang memiliki sisi negatif dan positif, peran kita adalah
menerima sisi negatif dan bangga atas sisi positif yang terkandung, bagaimanapun
juga Tuhan menciptakan manusia atas dasar ketidaksempurnaan.
*
Tetap
tidak lupa akan kejadian memalukan di pagi itu, Kori mau tidak mau harus
menerima. Ia sadar akan kekurangan komunitasnya, akan tetapi ia bangga akan
kelebihan komunitasnya yang tidak muncul di permukaan. Ketidaksempurnaan itu
membuat Kori sadar bahwa segala hal yang baik akan terlihat tidak baik di mata
orang yang pembenci. Begitu pun sebaliknya.
Hari-hari
ke depan ia anggap sebagai pertunjukkan topeng di bazar. Bagaimana kemudian ia
menggunakan topeng yang memang sesuai dengan keadaan. Barangkali komunitasnya
dimaki oleh seseorang, maka ia pun akan menerima makian itu dengan menggunakan
topeng komunitas. Barangkali ia menyabet prestasi di fakultas, maka ia pun akan
menerima penghargaan itu dengan menggunakan topeng sebagai mahasiswa fakultas.
Barangkali ia dihajar oleh ayahnya, maka ia pun akan menerima hajaran itu
dengan menggunakan topeng sebagai anak. Hidup adalah berputarnya para topeng
oleh kendali manusia. Tidak peduli bahkan jika disandingkan dengan topeng lain.
Topeng tetaplah topeng, ia memiliki ciri khasnya sendiri yang tidak sama dengan
topeng lain.
Hidup
manusia ibarat dari topeng ke topeng. Bagaimana kemudian kemahiran dan
kecakapan dalam menggunakan topeng memang terjadi di kehidupan nyata, hanya
saja kebanyakan mereka tidak menyadari cara penggunaannya.
**
0 Komentar