Setidaknya Eropa telah membangun republik meskipun hanya sekadar imajinasi kelompok intelektualis pada masa itu. Disebut sebagai “Republic of Letters” yang menambah citra baru pada wajah Eropa (Ranum, 1998). Hal ini sejalan dengan berbagai gejala yang turut andil dalam membikin proyekan tersebut. Gejala ini setidaknya meliputi tahun revolusi (abad 15-18) oleh bangsa besar seperti Perancis, Amerika, dan lainnya. Kejantanan Eropa patut diapresiasi dalam hal ini musabab dengan instrumen baru dalam berliterasi setidaknya membuat bangsa lain turut andil menyemarakkan obor semangat pada masa sesudahnya. Republic of Letters timbul dan dipahami sebagai semangat keliterasian bangsa Eropa yang progresif. Republik imajiner ini disebut sebagai api pemantik kemajuan literasi pada era setelahnya.
Literasi sebelum timbulnya republik imajiner
dipahami sebagai wahana konsumsi
masyarakat yang memiliki uang lebih untuk sekadar membeli buku. Dalam hal ini
jelas tidak melepas kemungkinan bahwa kepemilikan buku pada masa itu terbilang
cukup langka. Disebut sebagai copies
yang memiliki job melayani masyarakat yang ingin memperbanyak sebuah buku. Copies menjadi bahan pertimbangan bagi
masyarakat biasa untuk menyalin sebuah buku, tentunya juga pada masa itu belum
terdapat toko buku layaknya sekarang. Jika ingin memiliki sebuah buku ataupun
novel, maka seseorang setidaknya harus mengcopy buku asli kepada tenaga copies untuk kemudian dibuatkan salinannya. Cara kerja
seorang copies bisa dibilang cukup
unik, bagaimana kemudian ia melayani masyarakat yang ingin memperbanyak buku
dengan cara menulis ulang keseluruhan isi buku beserta ilustrasi gambar hingga
halaman sampul sekaligus. Hal ini tentu time
consuming dan terkesan mahal bagi masyarakat biasa karena biaya ongkos
tidaklah dibayar di akhir muka, melainkan pemesan harus merawat biaya hidup
seorang copies hingga ia menunaikan
tugasnya dalam menyalin buku. Tidak salah jika fenomena semacam itu
ditinggalkan, utamanya oleh masyarakat biasa.
Lahirnya Mesin Cetak Buku
Masa membosankan yang penuh dengan ketidakefisienan tersebut kemudian usai dan beralih pada masa berikutnya. Pada abad ke-15, improvisasi seorang mekanik pabrik anggur berhasil membuat terobosan baru. Hal ini sekaligus membuka gerbang awal lahirnya republik imajiner tersebut. Dikenal dengan John Guttenberg, ia merupakan seseorang paling bertanggung jawab atas revolusi besar-besaran dalam hal percetakan buku yang sebelumnya didominasi oleh tenaga copies (Lambe, 1988). Berkat improvisasinya tersebut, memperbanyak buku dapat dilakukan secara otomatis dengan memanfaatkan alat pencetak buku yang sebenarnya berasal dari alat press anggur yang terimprovisasi. Mesin cetak buku ini terkesan efisien dan ekonomis jika dibandingkan dengan tenaga copies. Setidaknya butuh waktu kisaran 50 menit hingga 1 jam untuk bisa menghasilkan 250 lembar, dan mustahil seseorang bisa menghasilkan secara manual sebanyak itu dalam jangka waktu 1 jam. Sejak mesin ini ditemukan, buku bahkan menjadi laris untuk sekadar dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. Gejala pembuka inilah yang menjadi timbulnya gejala berikutnya.
Jaringan Surat Menyurat
Kebiasaan masyarakat dalam hal mengkonsumsi buku
kemudian mewarnai citra baru pada masa setelahnya, khususnya di Eropa. Produk
bikinan John Guttenberg nyatanya membuat jaringan surat menyurat pada masa
setelah lahirnya mesin cetak buku menjadi berubah. Orientasi surat yang awalnya
dipahami sebagai ajang untuk sekadar say
hello, tanya kabar, dan lain sebagainya berubah menjadi ajang untuk berbagi ilmu. Katakanlah seseorang yang berada di
kota A yang memiliki sahabat pena di kota D tentu mengubah topik obrolan
mereka. Bagaimana kemudian awal obrolan mereka sebelum semaraknya buku ialah
seputar tanya kabar berubah menjadi obrolan seputar perkembangan ilmu ataupun perkembangan filsafat misalnya. Hal ini terjadi atas semaraknya buku pada abad ke-17 pasca
lahirnya mesin cetak buku oleh John Guttenberg. Jaringan surat menyurat ini pada akhirnya
masif karena dinilai efisien dalam hal pembicaraan seputar ilmu hingga perkembangan sains, mengingat pada
masa itu alat komunikasi antar kota hanyalah sebatas surat saja.
Berubahnya Wajah Kedai Kopi
Gejala kedua berupa jaringan korespondensi tersebut
nyatanya kurang mendukung terbentuknya sebuah republik. Timbul gejala baru yang
cukup unik jika dibandingkan dengan masa sekarang. Gejala ini disebut sebagai
kedai kopi (coffe shop) yang sama
sekali tidak menggambarkan kedai pada umumnya (Brian Cowan, 2005). Pada abad ke-17 selepas maraknya jaringan surat menyurat di berbagai daerah, kedai kopi juga timbul sebagai
fasilitator para masyarakat yang tidak memiliki cukup keyakinan untuk belajar
di kampus. Gelombang kolonisasi yang penuh dengan dogma membuat citra kampus
pada masa itu berbeda dari sekarang, maka dari itu kedai kopi hadir sebagai
solusinya. Kedai kopi pada masa itu digambarkan sebagai tempat untuk adu bacot,
presentasi, dan diskusi mengenai ilmu. Hal ini tentu berangkat dari produk
bikinan John, yakni mesin cetak buku. Tidak jarang bahkan para pengunjung rela
bertengkar untuk sekadar membela suatu argumen. Cukup menarik bahwa peran
barista pada masa itu terbayarkan oleh lahirnya praktisi di luar kampus yang
kadar argumennya cukup untuk setara dengan akademisi kampus pada masa itu.
Gejala ini adalah yang paling unik jika ditarik dan dibandingkan dengan
realitas saat ini. Bagaimana kemudian sebuah kedai kopi mampu mencetak calon
ilmuwan atau setidaknya praktisi yang cukup mahir.
Pendeknya, ketiga gejala di atas yang sering
disebut sebagai tiga faktor penopang lahirnya sebuah republik literasi,
meskipun hanya sebatas imajinasi publik tertentu pada masanya. Semangat
literasi yang terjadi pada Eropa saat itu kenyataannya mampu memantik bangsa
lain dalam hal berliterasi. Bagaimana kemudian dengan keisengan seorang John Guttenberg yang mampu membangun sebuah gejala baru
yang turut sumbang menyumbang untuk kemudian menimbulkan sebuah era baru, yakni
era semangat berliterasi di Eropa pada masa itu.
Oleh: Rafi Ferdiansyah
REFERENSI
Brian Cowan. (2005). The
Social Life of Coffee: The Emergence Of The British Coffehouse. Yale
University Press.
Lambe, P. J. (1988). Critics and Skeptics in the
Seventeenth-Century Republic of Letters. Harvard Theological Review, 81(3),
271–296. https://doi.org/10.1017/S0017816000010105
Ranum, O. (1998). Dena Goodman. The Republic of Letters: A
Cultural History of the French Enlightenment. Ithaca: Cornell University Press.
1994. Pp. xii, 338. The American Historical Review, 103(1),
193–194. https://doi.org/10.1086/AHR/103.1.193
0 Komentar